Sa'ad bin Abi Waqqash RA, Lelaki Penghuni Surga Di antara Dua Pilihan

Lelaki penghuni surga di antara dua pilihan, iman dan kasih sayang. Malam telah larut, ketika seorang pemuda bernama Sa’ad bin Abi Waqqash terbangun dari tidurnya. Baru saja ia bermimpi yang sangat mencemaskan. Ia merasa terbenam dalam kegelapan, kerongkongannya terasa sesak, nafasnya terengah-engah, keringatnya bercucuran, keadaan sekelilingnya gelap-gulita. Dalam keadaan yang demikian dahsyat itu, tiba-tiba dia melihat seberkas cahaya dari langit yang terang-benderang. Maka dalam sekejap, berubahlah dunia yang gelap-gulita menjadi terang benderang dengan cahaya tadi. Cahaya itu menyinari seluruh rumah penjuru bumi. Bersamaan dengan sinar yang cemerlang itu, Sa’ad bin Abi Waqqash melihat tiga orang lelaki, yang setelah diamati tidak lain adalah Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar bin Abi Quhafah dan Zaid bin Haritsah.



Sejak ia bermimpi yang demikian itu, mata Sa'ad bin Abi Waqqash tidak mau terpejam lagi. Kini Sa’ad bin Abi Waqqash duduk merenung untuk memikirkan arti mimpi yang baginya sangat aneh. Sampai sinar matahari mulai meninggi, rahasia mimpi yang aneh tersebut masih belum terjawab. Hatinya kini bertanya-tanya, berita apakah gerangan yang hendak saya peroleh. Seperti biasa, di waktu pagi, Sa’ad dan ibunya selalu makan bersama-sama. Dalam menghadapi hidangan pagi ini, Sa’ad lebih banyak berdiam diri. Sa’ad adalah seorang pemuda yang sangat patuh dan taat kepada ibunya. Namun, mimpi semalam dirahasiakannya, tidak diceritakan kepada ibu yang sangat dicintai dan dihormatinya. Sedemikian dalam sayangnya Sa’ad pada ibunya, sehingga seolah-olah cinta Sa’ad hanya untuk ibunya yang telah memelihara dirinya sejak kecil hingga dewasa dengan penuh kelembutan dan berbagai pengorbanan.
Pekerjaan Sa’ad adalah membuat tombak dan lembing yang diruncingkan untuk dijual kepada pemuda-pemuda Mekkah yang senang berburu, meskipun ibunya terkadang melarangnya melakukan usaha ini. Ibu Sa’ad yang bernama Hamnah binti Suyan bin Abu Umayyah adalah seorang wanita hartawan keturunan bangsawan Quraisy, yang memiliki wajah cantik dan anggun. Disamping itu, Hamnah juga seorang wanita yang terkenal cerdik dan memiliki pandangan yang jauh. Hamnah sangat setia kepada agama nenek moyangnya, yaitu penyembah berhala.
Pada suatu hari tabir mimpi Sa'ad mulai terbuka, ketika Abu Bakar Ash Siddiq mendatangi Sa'ad di tempat pekerjaannya dengan membawa berita dari langit tentang diutusnya Muhammad SAW, sebagai Rasul Allah. Ketika Sa’ad bertanya, siapakah orang-orang yang telah beriman kepada Muhammad Saw, dijawab oleh Abu Bakar Ash Siddiq, dirinya sendiri, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah. Muhammad SAW, mengajak manusia menyembah Allah Yang Esa, Pencipta langit dan bumi. Seruan ini telah mengetuk pintu hati Sa’ad untuk menemui Rasulullah SAW, untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Kalbu Sa'ad telah disinari cahaya iman, meskipun usianya waktu itu baru menginjak tujuh belas tahun. Sa’ad termasuk dalam deretan lelaki pertama yang memeluk Islam selain Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar Ash Siddiq dan Zaid bin Haritsah. Cahaya agama Allah yang memancar ke dalam kalbu Sa’ad, sudah demikian kuat, meskipun ia mengalami ujian yang tidak ringan dalam memeluk agama Allah ini.
Diantara ujian yang dirasa paling berat adalah, karena ibunya yang paling dikasihi dan disayanginya itu tidak rela ketika mengetahui Sa’ad memeluk Islam. Sejak memeluk Islam, Sa'ad telah melaksanakan shalat dengan sembunyi-sembunyi di kamarnya. Sampai pada suatu saat, ketika ia sedang bersujud kepada Allah, secara tidak sengaja, ibu yang belum mendapat hidayah dari Allah ini melihatnya. Dengan nada sedikit marah, Hamnah bertanya : "Sa'ad, apakah yang sedang kau lakukan?" Rupanya Sa’ad sedang berdialog dengan Tuhannya; ia tampak tenang dan khusyu' sekali. Setelah selesai menunaikan Shalat, ia berbalik menghadap ibunya seraya berkata lembut. "Ibuku sayang, anakmu tadi bersujud kepada Allah Yang Esa, Pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya," Mendengar jawaban anaknya, sang ibu mulai naik darah dan berkata : "Rupanya engkau telah meninggalkan agama nenek moyang kita, Tuhan Lata, Manata dan Uzza. Ibu tidak rela wahai anakku. Tinggalkanlah agama itu dan kembalilah kepada agama nenek moyang kita yang telah sekian lama kita anut,"
"Wahai ibu, aku tidak dapat lagi menyekutukan Allah, Dia-lah Dzat Yang Tunggal, tiada yang setara dengan Dia, dan Muhammad adalah utusan Allah untuk seluruh umat manusia," jawab Sa'ad.
Kemarahan ibunya semakin menjadi-jadi, karena Sa’ad tetap bersikeras dengan keyakinannya yang baru ini. Oleh karena itu, Hamnah berjanji tak akan makan dan minum sampai Sa’ad kembali taat memeluk agamanya semula. Sehari telah berlalu, ibu ini tetap tidak mau makan dan minum. Hati Sa’ad merintih melihat ibunya, tetapi keyakinannya terlalu mahal untuk dikorbankan. Sa'ad datang membujuk ibunya dengan mengajaknya makan dan minum bersama, tapi ibunya menolak dengan harapan agar Sa’ad kembali kepada agama nenek moyangnya. Kini Sa’ad makan sendirian tanpa ditemani ibunya. Hari keduapun telah berlalu, ibunya tampak letih, wajahnya pucat-pasi dan matanya cekung, ia kelihatan lemah sekali. Tidak ada sedikit pun makanan dan minuman yang dijamahnya. Sa’ad sebagai seorang anak yang mencintai ibunya bertambah sedih dan terharu sekali melihat keadaan Hamnah yang demikian.
Malam berikutnya, Sa’ad kembali membujuk ibunya, agar mau makan dan minum. Namun ibunya adalah seorang wanita yang berpendirian keras, ia tetap menolak ajakan Sa’ad untuk makan, bahkan ia kembali merayu Sa’ad agar menuruti perintahnya semula. Tetapi Sa’ad tetap pada pendiriannya, ia tak hendak menjual agama dan keimanannya kepada Allah dengan sesuatupun, sekalipun dengan nyawa ibu yang dicintainya. Imannya telah membara, cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya telah sedemikian dalam. Di depan matanya ia menyaksikan keadaan ibunya yang meluluhkan hatinya, namun dari lidahnya keluar kata-kata pasti yang membingungkan lbunya; "Demi Allah, ketahuilah wahai ibunda sayang, seandainya ibunda memiliki seratus nyawa lalu ia keluar satu persatu, tidaklah nanda akan meninggalkan agama ini walau ditebus dengan apa pun juga. Maka sekarang, terserah kepada ibunda, apakah ibunda akan makan atau tidak,". Kata kepastian yang diucapkan anaknya dengan tegas membuat ibu Sa’ad bin Abi Waqqash tertegun sesaat.
Akhirnya ia mulai mengerti dan sadar, bahwa anaknya telah memegang teguh keyakinannya. Untuk menghormati ibunya, Sa’ad kembali mengajaknya untuk makan dengannya, karena ibu ini telah merasakan kelaparan yang amat sangat dan ia telah memaklumi pula bahwa anak yang dicintainya tidak akan mundur setapak pun dari agama yang dianutnya, maka ibu Sa’ad mundur dari pendiriannya dan memenuhi ajakan anaknya untuk makan bersama. Alangkah gembiranya hati Sa’ad bin Abi Waqqash. Ujian iman ternyata dapat diatasinya dengan ketabahan dan memohon pertolongan Allah.
Keesokan paginya, Sa’ad pergi menuju ke rumah Nabi Saw. Sewaktu ia berada di tengah majelis Nabi SAW, turunlah firman Allah yang menyokong pendirian Sa’ad bin Abi Wadqash:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu-bapakmu; hanya kepada-Ku-lah tempat kamu kembali. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu turuti keduanya, dan bergaullah dengan keduanya didunia dengan baik dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah tempat kembalimu. Maka Kuberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan,". (Q.S. Luqman: 14-15).
Demikianlah, keimanan Sa’ad bin Abi Waqqash kepada Allah dan Rasul-Nya telah mendapat keridhaan Ilahi. Al-Qur’an telah mengabadikan peristiwa itu menjadi pedoman buat kaum Muslimin. Terkadang Sa’ad mencucurkan air matanya apabila ia sedang berada di dekat Nabi Saw. Ia adalah seorang sahabat Rasul Allah SAW, yang diterima amal ibadahnya dan diberi nikmat dengan doa Rasul Allah SAW, agar doanya kepada Allah dikabulkan. Apabila Sa'ad bermohon diberi kemenangan oleh Allah pastilah Allah akan mengabulkan doanya.
Pada suatu hari, ketika Rasulullah saw, sedang duduk bersama para sahabat, tiba-tiba beliau menatap ke langit seolah mendengar bisikan malaikat. Kemudian Rasul kembali menatap kepada sahabatnya dengan berkata : "Sekarang akan ada di hadapan kalian seorang laki-laki dari penduduk surga,". Mendengar ucapan Rasulullah SAW, para sahabat menengok ke kanan dan ke kiri pada setiap arah, untuk melihat siapakah gerangan lelaki berbahagia yang menjadi penduduk surga.
Tidak lama berselang datanglah laki-laki yang ditunggu itu, dialah Sa’ad bin Abi Waqqash. Disamping terkenal sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, Sa’ad bin Abi Waqash juga terkenal karena keberaniannya dalam peperangan membela agama Allah. Ada dua hal penting yang dikenal orang tentang kesatriaannya. Pertama, Sa’ad adalah orang yang pertama melepaskan anak panah dalam membela agama Allah dan juga orang yang mula-mula terkena anak panah. Dan yang kedua, Sa’ad adalah satu-satunya orang yang dijamin oleh Rasulullah SAW dengan jaminan kedua orang tua Nabi SAW. Bersabda Nabi SAW, dalam perang Uhud : ”Panahlah hai Sa’ad ! Ayah-Ibuku menjadi jaminan bagimu,”. Sa’ad bin Abi Waqqash, hampir selalu menyertai Nabi Saw dalam setiap pertempuran.


Doa Sa’ad bin Abi Waqqash Yang Senantiasa Dikabulkan

Diriwayatkan dari Qais, bahwa Sa’ad menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Ya Allah, kabulkanlah Sa’ad jika dia berdoa,” 
Manakala beliau dido'akan seperti itu oleh Nabi SAW, maka setiap do'anya senantiasa dikabulkan oleh Allah. Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah, dia berkata, “Suatu ketika penduduk Mekkah mengadukan Sa’ad bin Abi Waqqash kepada Umar bin Khattab, mereka mengatakan bahwa shalatnya tidak baik. Sa’ad kemudian membantah, "Aku mengerjakan shalat sesuai dengan shalatnya Rasulullah SAW. Shalatku pada waktu isya, aku lakukan dengan lama pada dua rakaat pertama sedangkan pada dua rakaat terakhir aku lakukan dengan ringkas," Mendengar itu Umar bin Khattab berkata, “Berarti itu hanya prasangka terhadapmu wahai Abu Ishaq," Dia kemudian mengutus beberapa orang untuk bertanya tentang dirinya di Kuffah, ternyata ketika mereka mendatangi masjid-masjid di Kuffah, mereka mendapat informasi yang baik, hingga ketika mereka datang ke masjid Bani Isa, seorang pria bernama Abu Sa’dah berkata, "Demi Allah, dia tidak adil dalam menetapkan hukum, tidak membagi secara adil dan tidak berjalan (untuk melakukan pemeriksaan) di waktu malam,". Setelah itu Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, "Ya Allah, jika dia bohong maka butakanlah matanya, panjangkanlah usianya dan timpakanlah fitnah kepadanya,”
Abdul Malik berkata, “Pada saat itu aku melihat Abu Sa’dah menderita penyakit tuli dan jika ditanya bagaimana keadaanmu, dia menjawab, ‘Orang tua yang terkena fitnah, aku terkutuk oleh doa Sa’ad,” (HR. Muttafaq ‘Alaihi).
Diriwayatkan dari Ibnu Al Musayyib, bahwa suatu ketika seorang pria mencela Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Mendengar itu, Sa’ad menegurnya, “Janganlah kamu mencela sahabat-sahabatku," Tetapi pria itu tidak mau menerima. Setelah itu Sa’ad berdiri, lalu mengerjakan shalat dua rakaat dan berdoa. Tiba-tiba seekor unta bukhti (peranakan unta Arab dan Dakhil) muncul menyeruduk pria tersebut hingga jatuh tersungkur di atas tanah, lantas meletakkannya di antara dada dan lantai hingga akhirnya ia terbunuh. Aku melihat orang-orang mengikuti Sa’ad dan berkata, "Selamat kamu wahai Abu Ishaq, doamu terkabulkan,”
Sejarah mencatat, hari-hari terakhir Panglima Sa’ad bin Abi Waqqash ialah ketika ia memasuki usia delapan puluh tahun. Dalam keadaan sakit Sa’ad bin Abi Waqqash berpesan kepada para sahabatnya, agar ia dikafani dengan Jubah yang digunakannya dalam perang Badar, sebagai perang kemenangan pertama untuk kaum muslimin. Pahlawan perkasa ini telah menghembuskan nafas yang terakhir pada tahun 55 H dengan meninggalkan kenangan indah dan nama yang harum. Ia dimakamkan di pemakaman Baqi’, makamnya para Syuhada.


Kisah Lain


PEMIMPIN PANDAI MENGENDALIKAN HARTA

Abdurrahman bin Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya, bukan seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya. Sebagai buktinya, ia tidak mau celaka dengan mengumpulkannya dan tidak juga dengan menyimpannya bahkan ia mengumpulkannya secara santai dan dari jalan yang halal. Kemudian ia tidak menikmati sendirian, tetapi ikut menikmatinya bersama keluarga dan kaum kerabatnya serta saudara-saudaranya dan masyarakat seluruhnya. Dan karena begitu luas pemberian serta pertolongannya, pernah dikatakan orang: "Seluruh penduduk Madinah berserikat dengan Abdurrahman bin Auf, pada hartanya. Sepertiga dipinjamkannya pada mereka. Sepertiga lagi digunakannya untuk membayar hutang-hutang mereka, dan sepertiga sisanya diberikan dan dibagi ­bagikannya kepada mereka,". Harta kekayaan ini tidak akan mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada dirinya, selama tidak memungkinkannya untuk membela agama dan membantu kawan-kawannya. Adapun untuk lainnya, ia selalu takut dan ragu. Pada suatu hari dihidangkannya kepadanya makanan untuk berbuka, karena waktu itu ia sedang shaum, sewaktu pandangannya jatuh pada hidangan tersebut, timbul selera makannya, tetapi ia pun menangis sambil mengeluh, "Mushab bin Umair telah gugur sebagai Syahid, ia jauh lebih baik dari padaku, ia hanya mendapat kafan sehelai burdah, jika ditutupkan ke kepalanya maka kelihatan kakinya dan jika ditutupkan kakinya terbuka kepalanya. Demikian juga Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku, ia pun gugur sebagai syahid, dan di saat akan dikuburkan hanya terdapat untuknya sehelai selendang. Telah dihamparkan untuk kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan juga kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Sungguh kami khawatir kalau-kalau telah didahulukan pahala kebaikan kami,"

Pada suatu peristiwa lain sebagian sahabatnya berkumpul bersamanya menghadapi jamuan dirumahnya. Tak lama sesudah makanan diletakkan di hadapan mereka, ia pun menangis. Karena itu mereka bertanya: "Rasulullah SAW telah wafat dan tak pernah beliau berikut ahli rumahnya sampai kenyang makan roti gandum, apa harapan kita apabila dipanjangkan usia tetapi tidak menambah kebaikan untuk kita?". Begitulah ia, kekayaannya yang melimpah-limpah sedikit pun tidak membangkitkan kesombongan dan takabur dalam dirinya. Sampai-sampai dikatakan orang tentang dirinya : "Seandainya seorang asing yang belum pernah mengenalinya, kebetulan melihatnya sedang duduk-duduk bersama pelayan-pelayannya, niscaya ia tidak akan sanggup membedakannya dari antara mereka!"

Tetapi bila orang asing itu mengenal satu segi saja dari perjuangan Ibnu Auf dan jasa jasanya, misalnya diketahuinya bahwa dibadannya terdapat 20 bekas luka di perang Uhud, dan bahwa salah satu dari bekas luka ini meninggalkan cacat pincang yang tidak sembuh-sembuh pada salah satu kakinya. Sebagaimana juga beberapa gigi seri rontok di perang Uhud, yang menyebabkan kecadelan yang jelas pada ucapan dan pembicaraannya. Di waktu itulah, orang baru akan menyadari bahwa laki-laki yang berperawakan tinggi dengan air muka yang berseri dan kulit halus, pincang serta cadel sebagai tanda jasa dari perang Uhud, itulah orang yang bernama Abdurrahman bin Auf Semoga Allah ridho kepadanya dan ia pun ridho kepada Allah.

Sudah menjadi kebiasaan pada tabiat manusia bahwa harta kekayaan mengundang kekuasaan, artinya bahwa orang-orang kaya selalu gandrung untuk memiliki pengaruh guna melindungi kekayaan mereka dan tidak melipat gandakannya, dan untuk memuaskan nafsu, sombong, membanggakan dan mementingkan diri sendiri, yakni sifat-sifat yang biasa dibangkitkan oleh kekayaan. Tetapi bila kita melihat Abdurrahman bin Auf dengan kekayaannya yang melimpah ini, kita akan menemukan manusia ajaib yang sanggup menguasai tabiat kemanusiaan dalam bidang ini dan melangkahinya kepuncak ketinggian yang unik. Peristiwa ini terjadi sewaktu Umar bin Khattab hendak berpisah dengan ruhnya yang suci dan ia memilih 6 orang tokoh dari para sahabat Rasulullah SAW sebagai formatur agar mereka memilih salah seorang diantara mereka untuk menjadi khalifah yang baru.

Jari-jari tangan sama-sama menunjuk dan mengisyaratkan ibnu Auf Bahkan sebagian sahabat telah menegaskan bahwa dialah orang yang lebih berhak dengan khalifah diantara yang 6 itu, maka ujarnya: "Demi Allah, daripada aku menerima jabatan tersebut, lebih baik ambil pisau lain taruh ke atas leherku, kemudian kalian tusukkan sampai tembus ke sebelah,"

Demikianlah, baru saja kelompok 6 formatur itu mengadakan pertemuan untuk memilih salah seorang diantara mereka untuk menjadi khalifah yang akan menggantikan Al-Faruk, Umar bin Khattab, maka kepada kawan-kawannya yang 5 dinyatakannya bahwa ia telah melepaskan haknya yang dilimpahkan Umar kepadanya sebagai salah seorang dari 6 orang calon yang akan dipilih menjadi khalifah. Dan adalah kewajiban mereka untuk melakukan pemilihan itu terbatas diantara mereka yang berlima saja. Sikap zuhudnya terhadap jabatan pangkat ini dengan cepat telah menempatkan dirinya sebagai hakim diantara 5 orang tokoh terkemuka itu, mereka menerima dengan senang hati agar Abdurrahman bin Auf menetapkan pilihan khalifah itu terhadap salah seorang dari mereka yang berlima sementara Imam Ali mengatakan: "Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda bahwa anda adalah orang yang dipercaya oleh penduduk langit, dan dipercaya juga oleh penduduk bumi,". Oleh Ibnu Auf dipilihlah Utsman bin Affan untuk jabatan khalifah dan yang lain pun menyetujui pilihannya. Nah, inilah hakikat seorang laki-laki yang kaya raya dalam Islami, apakah sudah anda perhatikan bagaimana Islam telah mengangkat dirinya jauh diatas kekayaan dengan segala godaan dan penyesatannya itu, dan bagaimana ia menempa kepribadiannya dengan sebaik-baiknya?

Dan pada tahun ke 32 H, tubuhnya berpisah dengan ruhnya. Ummul Mu'minin Aisyah ingin memberinya kemuliaan khusus yang tidak diberikannya kepada orang lain, maka diusulkannya kepadanya sewaktu ia masih berbaring di ranjang menuju kematian, agar ia bersedia dikuburkan di perkarangan rumahnya berdekatan dengan Rasulullah, Abu bakar dan Umar. Akan tetapi ia memang seorang muslim yang telah dididik Islam dengan sebaik-baiknya, ia merasa malu diangkat dirinya pada kedudukan tersebut.

Dahulu ia juga telah membuat janji dan ikrar yang kuat dengan Utsman bin Madhun, yakni bila salah seorang di antara mereka meninggal dunia sesudah yang lain maka hendaklah ia dikuburkan di dekat sahabatnya itu. Selagi ruhnya besiap-siap memulai perjalanannya yang baru air matanya, meleleh sedang lidahnya bergerak-gerak mengucapkan kata-kata: "Sesungguhnya aku khawatir dipisahkan dari sahabat-sahabatku karena kekayaanku yang melimpah ruah,"

Tetapi sakinah dari Allah segera menyelimutinya, lain satu senyuman tipis menghiasi wajahnya disebabkan suka cita yang memberikan cahaya serta kebahagiaan yang menentramkan jiwa.Ia memasang telinganya untuk menangkap sesuatu, seolah ­olah ada suara yang lembut, merdu yang datang mendekat. la sedang mengenangkannya kebenaran. Sabda Rasulullah SAW yang pernah beliau ucapkan : "Abdurrahman bin Auf dalam surga," lagipula ia sedang mengingat ­ingat janji Allah dalam kitabnya: "Orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah kemudian mereka tidak mengiringi apa yang telah mereka nafkahkan itu dengan membangkit-bangkit pemberiannya dan tidak juga kata-kata yang menyakitkan, niscaya mereka akan memperoleh pahala disisi Tuhan mereka, mereka tidak perlu merasa takut dan tidak pula merasa duka cita," ( Q.S.2 al - Baqarah: 262).

Abdurrahman bin Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya, bukan seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya. Maksudnya adalah bahwa Abdurahman bin Auf bukanlah seorang pemimpin yang terlalu mementingkan harta benda namun ia mementingkan amalan di jalan Allah. Harta yang ada pada dirinya dianggapnya hanyalah sebagai titipan di dunia yang hanya bersifat sementara saja. Karena ia juga beranggapan bahwa harta kekayaan itu tidak akan mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada diri seseorang. Oleh karenanya ia sering menggunakan harta tersebut di jalan Allah untuk membantu masyarakat dan sahabat-sahabatnya.

Sudah menjadi kebiasaan pada tabiat manusia bahwa harta kekayaan tidak terlepaskan dari kekuasaan. Artinya bahwa harta kekayaan mempunyai pengaruh yang gunanya untuk melindungi kekayaan dan melipatgandakannya. Dan biasanya harta kekayaan menjadikan seseorang sombong, mementingkan diri sendiri dan sifat- sifat buruk lainnya. Namun Abdurrahman Bin Auf tidak mempunyai sifat-sifat buruk tersebut. Kekayaannya yang melimpah ruah tidak sedikitpun menjadikannya seseorang yang sombong dan takabur.Ia tidak pernah membeda-bedakan seseorang baik itu dari status, fisik, ataupun lain sebagainya.

Dari sejarah di atas kita dapat memetik pembelajaran bahwa kekayaan itu bukanlah segala-galanya. Dan kita tidak boleh terlalu mendewa-dewakan harta benda karena kekayaan itu hanya berlaku semu belaku dimana sifatnya sementara saja dan tidak menjamin kita dapat masuk ke surga. Oleh karenanya harta yang kita punya hendaklah kita gunakan di jalan Allah, dan tidak menjadi sombong.

Sumber : Klik Disini

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright 2010 anti trust
Lunax Free Premium Blogger™ template by Introblogger