Said Bin Zaid Bin Amru Bin Nufail

Said bin Zaid bin Amru bin Nufail Al Adawi atau sering juga disebut sebagai Abul A'waar lahir di Mekah 22 tahun sebelum Hijrah. Beliau termasuk sepuluh orang yang diberi kabar gembira akan masuk surga oleh Nabi saw.
"Wahai Allah, jika Engkau mengharamkanku dari agama yang lurus ini, janganlah anakku Sa’id diharamkan pula daripadanya,” (Doa Zaid untuk anaknya Said).
Ayah Said bernama Zaid bin Amru bin Nufail, tidak suka dan tidak pernah mau mengikuti ajaran jahiliyah. Beliau, yang diberi gelar Hanif, adalah penyelamat bayi perempuan yang ingin dibunuh oleh bapaknya pada masa tersebut dan mengambilnya sebagai anak angkat. Beliau juga tak pernah menyekutukan Allah, juga tak pernah menggunakan apa pun sebagai perantaranya dengan Allah. Beliau pernah mempelajari agama Yahudi dan Nasrani, tapi masih juga tak puas, sampai akhirnya beliau bertemu dengan seorang rahib yang memberi tahu bahwa Allah akan mengirimkan seorang Nabi dari kalangan bangsa Arab. Oleh karena itu beliau memutuskan untuk kembali ke Mekkah. Di tengah jalan beliau terbunuh oleh kawanan perampok sehingga tak sempat kembali ke Mekah. Tapi doanya agar Allah tidak menghalangi anaknya masuk Islam sebagaimana beliau terhalang, terkabul.

Allah memperkenankan do'a Zaid. Pada waktu Rasulullah SAW mengajak orang banyak untuk masuk Islam, Said segera memenuhi panggilan Islam. Said bin zaid menjadi pelopor orang-orang beriman dengan Allah dan membenarkan kerasulan Nabi Muhammad SAW.

Said bin Zaid masuk Islam tidak seorang diri, melainkan bersama-sama dengan istrinya, Fathimah binti Khatthab, adik perempuan Umar bin Khatthab. Karena pemuda Quraisy ini masuk Islam, dia disakiti dan dianiaya, serta dipaksa oleh kaumnya agar kembali kepada agama mereka. Tetapi jangankan mereka berhasil mengembalikan Said dan istrinya kepada kepercayaan nenek moyang mereka, bahkan sebaliknya Said dan istrinya berhasil menarik seorang laki-laki Quraisy yang paling berbobot, baik fisik maupun intelektualnya masuk ke dalam Islam. Mereka berdualah yang telah menyebabkan Umar bin Khatthab masuk Islam.
Said bin zaid pernah hijrah ke Habsyah (Ethiopia), kemudian Madinah, dan Rasulullah SAW mempersaudarakan beliau dengan Ubay bin Ka’ab.
Mengintai kafilah Quraisy
 
Rasulullah SAW pernah mengutus beliau bersama Thalhah bin Ubaidillah untuk mengintai kafilah Quraisy yang pulang dari berniaga, dan saat keduanya melaksanakan tugas, terjadilah perang Badar  yang berakhir dengan kemenangan untuk kaum Muslimin, kemudian keduanya pulang dan Rasulullah SAW memberikan kepada keduanya bagian dari harta rampasan perang. Said terkenal dengan keberaniannya dan kegagahannya, dan selalu mangikuti setiap peperangan.
Baliau termasuk seorang yang doanya selalu dikabulkan oleh Allah, diriwayatkan bahwa Arwa binti Uwais telah melakukan kebohongan dengan menuduhnya merampas sebagian tanah miliknya, kemudian perempuan itu pergi ke Marwan bin Hakam yang saat itu menjabat sebagai gubernur Madinah, dan mengadukan permasalahannya. Maka Marwan pun mengutus seseorang kepada Said untuk menghadap kepadanya, lalu Marwan  berkata, "Sesungguhnya wanita ini menuduh engkau telah merampas tanahnya,"  Said berkata, "Bagaimana mungkin saya menzaliminya sedangkan saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang mengambil tanah orang lain walau sejengkal maka nanti di hari kiamat Allah akan memikulkan tujuh lapis bumi kepadanya,”. Marwan berkata : “Jadi engkau harus bersumpah,” Said berkata : “Ya Allah jika wanita ini berdusta, maka janganlah engkau matikan dia kecuali matanya lebih dahulu buta, dan menjadikan kuburnya di sumur kemudian meninggalkan tanah yang diklaim sebagai miliknya kuburannya,”. Setelah waktu berjalan, mata Arwa menjadi buta dan selalu dituntun oleh budaknya, dan pada suatu malam dia bangun dari tidurnya, sedangkan budaknya belum bangun lalu berjalan dan dirinya tercebur ke dalam sumur yang ada di dalam rumahnya lalu mati dan dijadikan sumur itu sebagai kuburnya.
Said bin Zaid adalah sahabat yang sangat terkenal di kalangan manusia, beliau mencintai mereka dan mereka pun mencintainya, dan saat terjadi fitnah di kalangan umat Islam beliau tidak ikut di dalamnya, beliau sangat tekun dalam ketaatan kepada Allah dan beribadah kepada-Nya hingga akhir hayatnya.
Said bin Zaid meninggal pada umur 73 tahun, 51 tahun sesudah Hijrah di Madinah, Saad bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar yang menolong masukkan jenazahnya ke dalam liang lahat.

Sumber : Klik Disini

Sa'ad bin Abi Waqqash RA, Lelaki Penghuni Surga Di antara Dua Pilihan

Lelaki penghuni surga di antara dua pilihan, iman dan kasih sayang. Malam telah larut, ketika seorang pemuda bernama Sa’ad bin Abi Waqqash terbangun dari tidurnya. Baru saja ia bermimpi yang sangat mencemaskan. Ia merasa terbenam dalam kegelapan, kerongkongannya terasa sesak, nafasnya terengah-engah, keringatnya bercucuran, keadaan sekelilingnya gelap-gulita. Dalam keadaan yang demikian dahsyat itu, tiba-tiba dia melihat seberkas cahaya dari langit yang terang-benderang. Maka dalam sekejap, berubahlah dunia yang gelap-gulita menjadi terang benderang dengan cahaya tadi. Cahaya itu menyinari seluruh rumah penjuru bumi. Bersamaan dengan sinar yang cemerlang itu, Sa’ad bin Abi Waqqash melihat tiga orang lelaki, yang setelah diamati tidak lain adalah Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar bin Abi Quhafah dan Zaid bin Haritsah.



Sejak ia bermimpi yang demikian itu, mata Sa'ad bin Abi Waqqash tidak mau terpejam lagi. Kini Sa’ad bin Abi Waqqash duduk merenung untuk memikirkan arti mimpi yang baginya sangat aneh. Sampai sinar matahari mulai meninggi, rahasia mimpi yang aneh tersebut masih belum terjawab. Hatinya kini bertanya-tanya, berita apakah gerangan yang hendak saya peroleh. Seperti biasa, di waktu pagi, Sa’ad dan ibunya selalu makan bersama-sama. Dalam menghadapi hidangan pagi ini, Sa’ad lebih banyak berdiam diri. Sa’ad adalah seorang pemuda yang sangat patuh dan taat kepada ibunya. Namun, mimpi semalam dirahasiakannya, tidak diceritakan kepada ibu yang sangat dicintai dan dihormatinya. Sedemikian dalam sayangnya Sa’ad pada ibunya, sehingga seolah-olah cinta Sa’ad hanya untuk ibunya yang telah memelihara dirinya sejak kecil hingga dewasa dengan penuh kelembutan dan berbagai pengorbanan.
Pekerjaan Sa’ad adalah membuat tombak dan lembing yang diruncingkan untuk dijual kepada pemuda-pemuda Mekkah yang senang berburu, meskipun ibunya terkadang melarangnya melakukan usaha ini. Ibu Sa’ad yang bernama Hamnah binti Suyan bin Abu Umayyah adalah seorang wanita hartawan keturunan bangsawan Quraisy, yang memiliki wajah cantik dan anggun. Disamping itu, Hamnah juga seorang wanita yang terkenal cerdik dan memiliki pandangan yang jauh. Hamnah sangat setia kepada agama nenek moyangnya, yaitu penyembah berhala.
Pada suatu hari tabir mimpi Sa'ad mulai terbuka, ketika Abu Bakar Ash Siddiq mendatangi Sa'ad di tempat pekerjaannya dengan membawa berita dari langit tentang diutusnya Muhammad SAW, sebagai Rasul Allah. Ketika Sa’ad bertanya, siapakah orang-orang yang telah beriman kepada Muhammad Saw, dijawab oleh Abu Bakar Ash Siddiq, dirinya sendiri, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah. Muhammad SAW, mengajak manusia menyembah Allah Yang Esa, Pencipta langit dan bumi. Seruan ini telah mengetuk pintu hati Sa’ad untuk menemui Rasulullah SAW, untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Kalbu Sa'ad telah disinari cahaya iman, meskipun usianya waktu itu baru menginjak tujuh belas tahun. Sa’ad termasuk dalam deretan lelaki pertama yang memeluk Islam selain Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar Ash Siddiq dan Zaid bin Haritsah. Cahaya agama Allah yang memancar ke dalam kalbu Sa’ad, sudah demikian kuat, meskipun ia mengalami ujian yang tidak ringan dalam memeluk agama Allah ini.
Diantara ujian yang dirasa paling berat adalah, karena ibunya yang paling dikasihi dan disayanginya itu tidak rela ketika mengetahui Sa’ad memeluk Islam. Sejak memeluk Islam, Sa'ad telah melaksanakan shalat dengan sembunyi-sembunyi di kamarnya. Sampai pada suatu saat, ketika ia sedang bersujud kepada Allah, secara tidak sengaja, ibu yang belum mendapat hidayah dari Allah ini melihatnya. Dengan nada sedikit marah, Hamnah bertanya : "Sa'ad, apakah yang sedang kau lakukan?" Rupanya Sa’ad sedang berdialog dengan Tuhannya; ia tampak tenang dan khusyu' sekali. Setelah selesai menunaikan Shalat, ia berbalik menghadap ibunya seraya berkata lembut. "Ibuku sayang, anakmu tadi bersujud kepada Allah Yang Esa, Pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya," Mendengar jawaban anaknya, sang ibu mulai naik darah dan berkata : "Rupanya engkau telah meninggalkan agama nenek moyang kita, Tuhan Lata, Manata dan Uzza. Ibu tidak rela wahai anakku. Tinggalkanlah agama itu dan kembalilah kepada agama nenek moyang kita yang telah sekian lama kita anut,"
"Wahai ibu, aku tidak dapat lagi menyekutukan Allah, Dia-lah Dzat Yang Tunggal, tiada yang setara dengan Dia, dan Muhammad adalah utusan Allah untuk seluruh umat manusia," jawab Sa'ad.
Kemarahan ibunya semakin menjadi-jadi, karena Sa’ad tetap bersikeras dengan keyakinannya yang baru ini. Oleh karena itu, Hamnah berjanji tak akan makan dan minum sampai Sa’ad kembali taat memeluk agamanya semula. Sehari telah berlalu, ibu ini tetap tidak mau makan dan minum. Hati Sa’ad merintih melihat ibunya, tetapi keyakinannya terlalu mahal untuk dikorbankan. Sa'ad datang membujuk ibunya dengan mengajaknya makan dan minum bersama, tapi ibunya menolak dengan harapan agar Sa’ad kembali kepada agama nenek moyangnya. Kini Sa’ad makan sendirian tanpa ditemani ibunya. Hari keduapun telah berlalu, ibunya tampak letih, wajahnya pucat-pasi dan matanya cekung, ia kelihatan lemah sekali. Tidak ada sedikit pun makanan dan minuman yang dijamahnya. Sa’ad sebagai seorang anak yang mencintai ibunya bertambah sedih dan terharu sekali melihat keadaan Hamnah yang demikian.
Malam berikutnya, Sa’ad kembali membujuk ibunya, agar mau makan dan minum. Namun ibunya adalah seorang wanita yang berpendirian keras, ia tetap menolak ajakan Sa’ad untuk makan, bahkan ia kembali merayu Sa’ad agar menuruti perintahnya semula. Tetapi Sa’ad tetap pada pendiriannya, ia tak hendak menjual agama dan keimanannya kepada Allah dengan sesuatupun, sekalipun dengan nyawa ibu yang dicintainya. Imannya telah membara, cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya telah sedemikian dalam. Di depan matanya ia menyaksikan keadaan ibunya yang meluluhkan hatinya, namun dari lidahnya keluar kata-kata pasti yang membingungkan lbunya; "Demi Allah, ketahuilah wahai ibunda sayang, seandainya ibunda memiliki seratus nyawa lalu ia keluar satu persatu, tidaklah nanda akan meninggalkan agama ini walau ditebus dengan apa pun juga. Maka sekarang, terserah kepada ibunda, apakah ibunda akan makan atau tidak,". Kata kepastian yang diucapkan anaknya dengan tegas membuat ibu Sa’ad bin Abi Waqqash tertegun sesaat.
Akhirnya ia mulai mengerti dan sadar, bahwa anaknya telah memegang teguh keyakinannya. Untuk menghormati ibunya, Sa’ad kembali mengajaknya untuk makan dengannya, karena ibu ini telah merasakan kelaparan yang amat sangat dan ia telah memaklumi pula bahwa anak yang dicintainya tidak akan mundur setapak pun dari agama yang dianutnya, maka ibu Sa’ad mundur dari pendiriannya dan memenuhi ajakan anaknya untuk makan bersama. Alangkah gembiranya hati Sa’ad bin Abi Waqqash. Ujian iman ternyata dapat diatasinya dengan ketabahan dan memohon pertolongan Allah.
Keesokan paginya, Sa’ad pergi menuju ke rumah Nabi Saw. Sewaktu ia berada di tengah majelis Nabi SAW, turunlah firman Allah yang menyokong pendirian Sa’ad bin Abi Wadqash:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu-bapakmu; hanya kepada-Ku-lah tempat kamu kembali. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu turuti keduanya, dan bergaullah dengan keduanya didunia dengan baik dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah tempat kembalimu. Maka Kuberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan,". (Q.S. Luqman: 14-15).
Demikianlah, keimanan Sa’ad bin Abi Waqqash kepada Allah dan Rasul-Nya telah mendapat keridhaan Ilahi. Al-Qur’an telah mengabadikan peristiwa itu menjadi pedoman buat kaum Muslimin. Terkadang Sa’ad mencucurkan air matanya apabila ia sedang berada di dekat Nabi Saw. Ia adalah seorang sahabat Rasul Allah SAW, yang diterima amal ibadahnya dan diberi nikmat dengan doa Rasul Allah SAW, agar doanya kepada Allah dikabulkan. Apabila Sa'ad bermohon diberi kemenangan oleh Allah pastilah Allah akan mengabulkan doanya.
Pada suatu hari, ketika Rasulullah saw, sedang duduk bersama para sahabat, tiba-tiba beliau menatap ke langit seolah mendengar bisikan malaikat. Kemudian Rasul kembali menatap kepada sahabatnya dengan berkata : "Sekarang akan ada di hadapan kalian seorang laki-laki dari penduduk surga,". Mendengar ucapan Rasulullah SAW, para sahabat menengok ke kanan dan ke kiri pada setiap arah, untuk melihat siapakah gerangan lelaki berbahagia yang menjadi penduduk surga.
Tidak lama berselang datanglah laki-laki yang ditunggu itu, dialah Sa’ad bin Abi Waqqash. Disamping terkenal sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, Sa’ad bin Abi Waqash juga terkenal karena keberaniannya dalam peperangan membela agama Allah. Ada dua hal penting yang dikenal orang tentang kesatriaannya. Pertama, Sa’ad adalah orang yang pertama melepaskan anak panah dalam membela agama Allah dan juga orang yang mula-mula terkena anak panah. Dan yang kedua, Sa’ad adalah satu-satunya orang yang dijamin oleh Rasulullah SAW dengan jaminan kedua orang tua Nabi SAW. Bersabda Nabi SAW, dalam perang Uhud : ”Panahlah hai Sa’ad ! Ayah-Ibuku menjadi jaminan bagimu,”. Sa’ad bin Abi Waqqash, hampir selalu menyertai Nabi Saw dalam setiap pertempuran.


Doa Sa’ad bin Abi Waqqash Yang Senantiasa Dikabulkan

Diriwayatkan dari Qais, bahwa Sa’ad menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Ya Allah, kabulkanlah Sa’ad jika dia berdoa,” 
Manakala beliau dido'akan seperti itu oleh Nabi SAW, maka setiap do'anya senantiasa dikabulkan oleh Allah. Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah, dia berkata, “Suatu ketika penduduk Mekkah mengadukan Sa’ad bin Abi Waqqash kepada Umar bin Khattab, mereka mengatakan bahwa shalatnya tidak baik. Sa’ad kemudian membantah, "Aku mengerjakan shalat sesuai dengan shalatnya Rasulullah SAW. Shalatku pada waktu isya, aku lakukan dengan lama pada dua rakaat pertama sedangkan pada dua rakaat terakhir aku lakukan dengan ringkas," Mendengar itu Umar bin Khattab berkata, “Berarti itu hanya prasangka terhadapmu wahai Abu Ishaq," Dia kemudian mengutus beberapa orang untuk bertanya tentang dirinya di Kuffah, ternyata ketika mereka mendatangi masjid-masjid di Kuffah, mereka mendapat informasi yang baik, hingga ketika mereka datang ke masjid Bani Isa, seorang pria bernama Abu Sa’dah berkata, "Demi Allah, dia tidak adil dalam menetapkan hukum, tidak membagi secara adil dan tidak berjalan (untuk melakukan pemeriksaan) di waktu malam,". Setelah itu Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, "Ya Allah, jika dia bohong maka butakanlah matanya, panjangkanlah usianya dan timpakanlah fitnah kepadanya,”
Abdul Malik berkata, “Pada saat itu aku melihat Abu Sa’dah menderita penyakit tuli dan jika ditanya bagaimana keadaanmu, dia menjawab, ‘Orang tua yang terkena fitnah, aku terkutuk oleh doa Sa’ad,” (HR. Muttafaq ‘Alaihi).
Diriwayatkan dari Ibnu Al Musayyib, bahwa suatu ketika seorang pria mencela Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Mendengar itu, Sa’ad menegurnya, “Janganlah kamu mencela sahabat-sahabatku," Tetapi pria itu tidak mau menerima. Setelah itu Sa’ad berdiri, lalu mengerjakan shalat dua rakaat dan berdoa. Tiba-tiba seekor unta bukhti (peranakan unta Arab dan Dakhil) muncul menyeruduk pria tersebut hingga jatuh tersungkur di atas tanah, lantas meletakkannya di antara dada dan lantai hingga akhirnya ia terbunuh. Aku melihat orang-orang mengikuti Sa’ad dan berkata, "Selamat kamu wahai Abu Ishaq, doamu terkabulkan,”
Sejarah mencatat, hari-hari terakhir Panglima Sa’ad bin Abi Waqqash ialah ketika ia memasuki usia delapan puluh tahun. Dalam keadaan sakit Sa’ad bin Abi Waqqash berpesan kepada para sahabatnya, agar ia dikafani dengan Jubah yang digunakannya dalam perang Badar, sebagai perang kemenangan pertama untuk kaum muslimin. Pahlawan perkasa ini telah menghembuskan nafas yang terakhir pada tahun 55 H dengan meninggalkan kenangan indah dan nama yang harum. Ia dimakamkan di pemakaman Baqi’, makamnya para Syuhada.


Kisah Lain


PEMIMPIN PANDAI MENGENDALIKAN HARTA

Abdurrahman bin Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya, bukan seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya. Sebagai buktinya, ia tidak mau celaka dengan mengumpulkannya dan tidak juga dengan menyimpannya bahkan ia mengumpulkannya secara santai dan dari jalan yang halal. Kemudian ia tidak menikmati sendirian, tetapi ikut menikmatinya bersama keluarga dan kaum kerabatnya serta saudara-saudaranya dan masyarakat seluruhnya. Dan karena begitu luas pemberian serta pertolongannya, pernah dikatakan orang: "Seluruh penduduk Madinah berserikat dengan Abdurrahman bin Auf, pada hartanya. Sepertiga dipinjamkannya pada mereka. Sepertiga lagi digunakannya untuk membayar hutang-hutang mereka, dan sepertiga sisanya diberikan dan dibagi ­bagikannya kepada mereka,". Harta kekayaan ini tidak akan mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada dirinya, selama tidak memungkinkannya untuk membela agama dan membantu kawan-kawannya. Adapun untuk lainnya, ia selalu takut dan ragu. Pada suatu hari dihidangkannya kepadanya makanan untuk berbuka, karena waktu itu ia sedang shaum, sewaktu pandangannya jatuh pada hidangan tersebut, timbul selera makannya, tetapi ia pun menangis sambil mengeluh, "Mushab bin Umair telah gugur sebagai Syahid, ia jauh lebih baik dari padaku, ia hanya mendapat kafan sehelai burdah, jika ditutupkan ke kepalanya maka kelihatan kakinya dan jika ditutupkan kakinya terbuka kepalanya. Demikian juga Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku, ia pun gugur sebagai syahid, dan di saat akan dikuburkan hanya terdapat untuknya sehelai selendang. Telah dihamparkan untuk kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan juga kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Sungguh kami khawatir kalau-kalau telah didahulukan pahala kebaikan kami,"

Pada suatu peristiwa lain sebagian sahabatnya berkumpul bersamanya menghadapi jamuan dirumahnya. Tak lama sesudah makanan diletakkan di hadapan mereka, ia pun menangis. Karena itu mereka bertanya: "Rasulullah SAW telah wafat dan tak pernah beliau berikut ahli rumahnya sampai kenyang makan roti gandum, apa harapan kita apabila dipanjangkan usia tetapi tidak menambah kebaikan untuk kita?". Begitulah ia, kekayaannya yang melimpah-limpah sedikit pun tidak membangkitkan kesombongan dan takabur dalam dirinya. Sampai-sampai dikatakan orang tentang dirinya : "Seandainya seorang asing yang belum pernah mengenalinya, kebetulan melihatnya sedang duduk-duduk bersama pelayan-pelayannya, niscaya ia tidak akan sanggup membedakannya dari antara mereka!"

Tetapi bila orang asing itu mengenal satu segi saja dari perjuangan Ibnu Auf dan jasa jasanya, misalnya diketahuinya bahwa dibadannya terdapat 20 bekas luka di perang Uhud, dan bahwa salah satu dari bekas luka ini meninggalkan cacat pincang yang tidak sembuh-sembuh pada salah satu kakinya. Sebagaimana juga beberapa gigi seri rontok di perang Uhud, yang menyebabkan kecadelan yang jelas pada ucapan dan pembicaraannya. Di waktu itulah, orang baru akan menyadari bahwa laki-laki yang berperawakan tinggi dengan air muka yang berseri dan kulit halus, pincang serta cadel sebagai tanda jasa dari perang Uhud, itulah orang yang bernama Abdurrahman bin Auf Semoga Allah ridho kepadanya dan ia pun ridho kepada Allah.

Sudah menjadi kebiasaan pada tabiat manusia bahwa harta kekayaan mengundang kekuasaan, artinya bahwa orang-orang kaya selalu gandrung untuk memiliki pengaruh guna melindungi kekayaan mereka dan tidak melipat gandakannya, dan untuk memuaskan nafsu, sombong, membanggakan dan mementingkan diri sendiri, yakni sifat-sifat yang biasa dibangkitkan oleh kekayaan. Tetapi bila kita melihat Abdurrahman bin Auf dengan kekayaannya yang melimpah ini, kita akan menemukan manusia ajaib yang sanggup menguasai tabiat kemanusiaan dalam bidang ini dan melangkahinya kepuncak ketinggian yang unik. Peristiwa ini terjadi sewaktu Umar bin Khattab hendak berpisah dengan ruhnya yang suci dan ia memilih 6 orang tokoh dari para sahabat Rasulullah SAW sebagai formatur agar mereka memilih salah seorang diantara mereka untuk menjadi khalifah yang baru.

Jari-jari tangan sama-sama menunjuk dan mengisyaratkan ibnu Auf Bahkan sebagian sahabat telah menegaskan bahwa dialah orang yang lebih berhak dengan khalifah diantara yang 6 itu, maka ujarnya: "Demi Allah, daripada aku menerima jabatan tersebut, lebih baik ambil pisau lain taruh ke atas leherku, kemudian kalian tusukkan sampai tembus ke sebelah,"

Demikianlah, baru saja kelompok 6 formatur itu mengadakan pertemuan untuk memilih salah seorang diantara mereka untuk menjadi khalifah yang akan menggantikan Al-Faruk, Umar bin Khattab, maka kepada kawan-kawannya yang 5 dinyatakannya bahwa ia telah melepaskan haknya yang dilimpahkan Umar kepadanya sebagai salah seorang dari 6 orang calon yang akan dipilih menjadi khalifah. Dan adalah kewajiban mereka untuk melakukan pemilihan itu terbatas diantara mereka yang berlima saja. Sikap zuhudnya terhadap jabatan pangkat ini dengan cepat telah menempatkan dirinya sebagai hakim diantara 5 orang tokoh terkemuka itu, mereka menerima dengan senang hati agar Abdurrahman bin Auf menetapkan pilihan khalifah itu terhadap salah seorang dari mereka yang berlima sementara Imam Ali mengatakan: "Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda bahwa anda adalah orang yang dipercaya oleh penduduk langit, dan dipercaya juga oleh penduduk bumi,". Oleh Ibnu Auf dipilihlah Utsman bin Affan untuk jabatan khalifah dan yang lain pun menyetujui pilihannya. Nah, inilah hakikat seorang laki-laki yang kaya raya dalam Islami, apakah sudah anda perhatikan bagaimana Islam telah mengangkat dirinya jauh diatas kekayaan dengan segala godaan dan penyesatannya itu, dan bagaimana ia menempa kepribadiannya dengan sebaik-baiknya?

Dan pada tahun ke 32 H, tubuhnya berpisah dengan ruhnya. Ummul Mu'minin Aisyah ingin memberinya kemuliaan khusus yang tidak diberikannya kepada orang lain, maka diusulkannya kepadanya sewaktu ia masih berbaring di ranjang menuju kematian, agar ia bersedia dikuburkan di perkarangan rumahnya berdekatan dengan Rasulullah, Abu bakar dan Umar. Akan tetapi ia memang seorang muslim yang telah dididik Islam dengan sebaik-baiknya, ia merasa malu diangkat dirinya pada kedudukan tersebut.

Dahulu ia juga telah membuat janji dan ikrar yang kuat dengan Utsman bin Madhun, yakni bila salah seorang di antara mereka meninggal dunia sesudah yang lain maka hendaklah ia dikuburkan di dekat sahabatnya itu. Selagi ruhnya besiap-siap memulai perjalanannya yang baru air matanya, meleleh sedang lidahnya bergerak-gerak mengucapkan kata-kata: "Sesungguhnya aku khawatir dipisahkan dari sahabat-sahabatku karena kekayaanku yang melimpah ruah,"

Tetapi sakinah dari Allah segera menyelimutinya, lain satu senyuman tipis menghiasi wajahnya disebabkan suka cita yang memberikan cahaya serta kebahagiaan yang menentramkan jiwa.Ia memasang telinganya untuk menangkap sesuatu, seolah ­olah ada suara yang lembut, merdu yang datang mendekat. la sedang mengenangkannya kebenaran. Sabda Rasulullah SAW yang pernah beliau ucapkan : "Abdurrahman bin Auf dalam surga," lagipula ia sedang mengingat ­ingat janji Allah dalam kitabnya: "Orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah kemudian mereka tidak mengiringi apa yang telah mereka nafkahkan itu dengan membangkit-bangkit pemberiannya dan tidak juga kata-kata yang menyakitkan, niscaya mereka akan memperoleh pahala disisi Tuhan mereka, mereka tidak perlu merasa takut dan tidak pula merasa duka cita," ( Q.S.2 al - Baqarah: 262).

Abdurrahman bin Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya, bukan seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya. Maksudnya adalah bahwa Abdurahman bin Auf bukanlah seorang pemimpin yang terlalu mementingkan harta benda namun ia mementingkan amalan di jalan Allah. Harta yang ada pada dirinya dianggapnya hanyalah sebagai titipan di dunia yang hanya bersifat sementara saja. Karena ia juga beranggapan bahwa harta kekayaan itu tidak akan mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada diri seseorang. Oleh karenanya ia sering menggunakan harta tersebut di jalan Allah untuk membantu masyarakat dan sahabat-sahabatnya.

Sudah menjadi kebiasaan pada tabiat manusia bahwa harta kekayaan tidak terlepaskan dari kekuasaan. Artinya bahwa harta kekayaan mempunyai pengaruh yang gunanya untuk melindungi kekayaan dan melipatgandakannya. Dan biasanya harta kekayaan menjadikan seseorang sombong, mementingkan diri sendiri dan sifat- sifat buruk lainnya. Namun Abdurrahman Bin Auf tidak mempunyai sifat-sifat buruk tersebut. Kekayaannya yang melimpah ruah tidak sedikitpun menjadikannya seseorang yang sombong dan takabur.Ia tidak pernah membeda-bedakan seseorang baik itu dari status, fisik, ataupun lain sebagainya.

Dari sejarah di atas kita dapat memetik pembelajaran bahwa kekayaan itu bukanlah segala-galanya. Dan kita tidak boleh terlalu mendewa-dewakan harta benda karena kekayaan itu hanya berlaku semu belaku dimana sifatnya sementara saja dan tidak menjamin kita dapat masuk ke surga. Oleh karenanya harta yang kita punya hendaklah kita gunakan di jalan Allah, dan tidak menjadi sombong.

Sumber : Klik Disini


"Tidak ada pedang, setajam pedang Zulfikar dan tidak ada pemuda yang setangguh Ali bin Abu Thalib,"

Demikianlah slogan yang selalu didengung-dengungkan oleh kaum muslimin ketika perang Uhud yang amat dahsyat itu tengah berlangsung. Dalam perang tersebut, Ali bin Abu Thalib memperlihatkan ketangguhannya sebagai seorang pahlawan Islam yang gagah perkasa. Ia di kenal sebagai jagoan bangsa Arab yang mempunyai kemahiran memainkan pedang dengan tangguh. Sementara itu, baju besi yang dimilikinya berbentuk tubuh bagian depan di kedua sisi, dan tidak ada bagian belakangnya. Ketika ditanya, "Mengapa baju besimu itu tidak dibuatkan bagian belakangnya, Hai Abu Husein?" Maka Ali bin Abu Thalib akan menjawabnya dengan mudah, "Kalau seandainya aku menghadapi musuhku dari belakang, niscaya aku akan binasa,"

Ketika terjadi perang Badar antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy, dimana kaum muslimin memperoleh kemenangan yang telak, maka korban yang berjatuhan di pihak kaum Quraisy berjumlah tujuh puluh orang. Konon sepertiga korban yang tewas dari pihak kaum Quraisy pada perang badar itu merupakan persembahan khusus dari Ali bin Abu Thalib dan Hamzah bin Abdul Muthalib.

Sementara itu Amru bin Wud Al 'Amiri, seorang jawara yang tangguh dari kaum kafir Quraisy ikut serta dalam perang Khandaq. Dengan angkuhnya ia menari-nari di atas kudanya sambil memainkan pedangnya dan mengejek kaum muslimin seraya berkata, "Hai kaum Muslimin, manakah surga yang telah dijanjikan kepadamu bahwa orang yang gugur di antaramu akan masuk ke dalamnya? Inilah dia surga yang kini berada di hadapanmu, maka sambutlah,"

Namun nyatanya tak ada seorang pun dari kaum muslimin yang berani maju untuk menjawab tantangan yang dilontarkan Amru bin Wud, yang terkenal bengis dan kejam itu. Tak lama kemudian Ali bin Abu Thalib pun berdiri dan berkata kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah, kalau Anda mengijinkan, maka saya akan maju untuk bertarung melawannya,". Rasulullah menjawab, "Hai Ali, bukankah dia itu Amru bin Wud, jagoan kaum Quraisy yang ganas itu?". Ali bin Abu Thalib pun menjawab, "Ya, Saya tahu dia itu adalah Amru bin wud, akan tetapi bukankah ia juga manusia seperti kita?" Akhirnya Rasulullah mengijinkan untuk bertarung melawannya.


Dengan pedang Zulfikar, Ali bin Abu Thalib membela Islam



Selang beberapa saat kemudian, Ali bin Abu Thalib telah maju ke gelanggang pertarungan untuk bertarung melawan Amru bin Wud. Lalu Amru bertanya seraya memandang remeh kepadanya, "Siapakah kamu hai anak muda?"
"Aku adalah Ali,"
Amru bin Wud bertanya lagi, "Kamu anak Abdul Manaf?"
"Bukan, Aku anak Abu Thalib,"
Lalu Amru bin Wud berkata, "Kamu jangan maju ke sini hai anak saudaraku! Kamu masih kecil. Aku hanya menginginkan orang yang lebih tua darimu, karena aku pantang menumpahkan darahmu,"
Ali bin Abu Thalib menjawab, "Jangan sombong dulu hai Amru! Aku akan buktikan bahwa aku dapat merobohkanmu hanya dalam beberapa detik saja dan aku tidak segan-segan untuk menghantarkanmu ke liang kubur,"

Betapa marahnya Amru bin Wud mendengar jawaban Ali bin Abu Thalib itu. Lalu ia turun dari kuda dan dihunusnya pedang miliknya itu ke arah Ali bin Abu Thalib. Sementara itu Ali bin Abu Thalib menghadapinya dengan tameng di tangan kirinya.

Tiba-tiba Amru bin Wud melancarkan serangannya dengan pedang. Dan Ali pun menangkis serangan itu dengan menggunakan tamengnya yang terbuat dari kulit binatang sehingga pedang Amru tertancap di tameng itu. Maka secepat kilat Ali menghantamkan dengan keras pedang Zulfikar pada tengkuknya hingga ia tersungkur ke tanah dan bersimbah darah, dan kaum kafir Quraisy lainnya yang melihat itu lari tunggang langgang.

Pada suatu ketika Rasulullah mengutus pasukan kaum muslim ke Wilayah Khaibar dibawah pimpinan Abu Bakar As Shiddiq. Lalu pasukan tersebut berangkat untuk menembus benteng pertahanan Khaibar. Dengan mengerahkan segala daya kekuatan mereka berusaha membobol benteng tersebut, namun pintu benteng tersebut sangat kokoh sehingga sukar untuk ditembusnya.

Keesokan harinya, Rasulullah mengutus Umar bin Khattab untuk memimpin pasukan untuk menaklukkan benteng tersebut. Dengan semangat yang berkobar-kobar akhirnya terjadilah peperangan yang dahsyat antara dua pasukan bersenjata itu. Umar terus membangkitkan semangat anak buahnya agar dapat menguasai benteng khaibar, namun upaya mereka belum membuahkan hasil meskipun telah berusaha sekuat tenaga dan mereka pun pulang dengan tangan hampa.

Setelah itu Rasulullah SAW bersabda, "Esok hari aku akan berikan bendera ini kepada seorang laki-laki yang dicintai Allah dan Rasulnya. Dan mudah-mudahan Allah akan membukakan pintu kemenangan bagi kaum Muslimin melalui kedua tangannya, sedangkan ia sendiri bukan termasuk seorang pengecut,"

Maka para sahabat bertanya-tanya, "Siapakah laki-laki yang beruntung itu?" Akhirnya setiap orang dari para sahabat itu berdoa dan memohon kepada Allah agar dialah yang dimaksud oleh Rasulullah.

Dan keesokan harinya Rasulullah ternyata menyerahkan bendera kepemimpinan itu kepada Ali bin Abu Thalib yang sedang menderita penyakit mata. Kemudian Rasulullah meludahi kedua belah matanya yang sedang sakit hingga sembuh seraya berkata, "Hai Ali, terimalah bendera perang ini dan bawalah pasukan kaum Muslimin bersamamu menuju benteng Khaibar hingga Allah membukakan pintu kemenangan bagi kaum Muslimin,"

Lalu Ali bin Abu Thalib memimpin pasukan dan memusatkan pasukannya pada sebuah batu karang besar dekat benteng guna menghimpun kekuatan kembali. Tak lama kemudian ia memberikan komando untuk bersiap-siap menyerbu ke benteng dan akhirnya terjadilah perang yang sengit antara kaum Muslimin dengan orang-orang yahudi di sana.

Ali bin Abu Thalib memainkan pedang Zulfikar-nya dengan gesit dan menghunuskan kepada musuhnya yang berani menghadang. Tidak ada musuh pun yang selamat dari kelebatan pedang yang di genggam Ali. Akan tetapi seorang yahudi tiba-tiba menghantamkan pedang kearahnya dengan keras. Secepat kilat ditangkis serangan itu dengan tamengnya, hingga terjatuh tamengnya itu. Akhirnya ia raih sebuah pintu besar yang terbuat dari besi yang berada di sekitar benteng dan dijadikannya sebagai tameng dari serangan pedang orang-orang yahudi lainnya. Dan ia tetap menggunakan pintu besar itu hingga perang usai dan kaum muslimin memperoleh kemenangan.

Abu Rofi', seorang sahabat yang ikut perang itu menyatakan, "Aku telah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Ali bin Abu Thalib mencabut pintu besi yang besar itu untuk dijadikan tamengnya, Setelah tamengnya terjatuh dari tangannya," Kemudian setelah perang usai, ada delapan orang laki-laki, salah seorang diantaranya adalah aku sendiri, yang berusaha untuk menggotong dan menempatkan kembali pintu besi itu ke tempat semula, tetapi mereka tidak mampu untuk melakukannya karena terlalu berat,"


Tentang Ali Bin Abu Thalib

Ali bin Abu Thalib, paman Nabi SAW bin Abdul Muththalib, bin Hasyim, bin Abdi Manaf, bin Qushayy. Ibunya adalah, Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf. Saudara-saudara kandungnya adalah: Thalib, 'Uqail, Ja'far dan Ummu Hani.

Dengan demikian, jelaslah, Ali bin Abu Thalib adalah berdarah Hasyimi dari kedua ibu-bapaknya. Keluarga Hasyim memiliki sejarah yang cemerlang dalam masyarakat Mekkah. Sebelum datangnya Islam, keluarga Hasyim terkenal sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, dan pemegang kepemimpinan masyarakat. Ibunya adalah Fathimah binti Asad, yang kemudian menamakannya Haidarah. Haidarah adalah salah satu nama singa, sesuai dengan nama ayahnya: Asad (singa). Fathimah adalah salah seorang wanita yang terdahulu beriman dengan Risalah Nabi Muhammad SAW. Dia pula-lah yang telah mendidik Nabi Saw, dan menanggung hidupnya, setelah meninggalnya bapak-ibu beliau, Abdullah dan Aminah. Beliau kemudian membalas jasanya, dengan menanggung kehidupan Ali bin Abu Thalib, untuk meringankan beban pamannya, Abu Thalib, pada saat mengalami kesulitan ekonomi. Saat Fathimah (Ibu Ali bin Abu Thalib) meninggal dunia, Rasulullah SAW yang mulai mengkafaninya dengan baju gamisnya, meletakkannya dalam kuburnya, dan menangisinya, sebagai tangisan seorang anak atas ibunya. Dan bersabda, "Semoga Allah SWT memberikan balasan yang baik bagi ibu asuhku ini. Engkau adalah orang yang paling baik kepadaku, setelah pamanku dan almarhumah ibuku. Dan semoga Allah SWT meridhaimu,"

Dan karena penghormatan beliau kepadanya, maka beliau menamakan anaknya yang tersayang dengan namanya: Fathimah. Darinyalah kemudian mengalir nasab beliau yang mulia, yaitu anak-anaknya: Hasan, Husein, Zainab al Kubra dan Ummu Kultsum.

Haidarah adalah nama lain Imam Ali bin Abu Thalib yang dipilihkan oleh ibunya. Namun ayahnya menamakannya dengan Ali, sehingga dia terkenal dengan dua nama tersebut, meskipun nama Ali kemudian lebih terkenal.


Sifat Ali Bin Abu Thalib

Ali Bin Abu Thalib tumbuh menjadi anak yang cepat matang. Di wajahnya tampak jelas kematangannya, yang juga menunjukkan kekuatan, dan ketegasan. Saat ia menginjak usia pemuda, ia segera berperan penuh dalam dakwah Islam, tidak seperti yang dilakukan oleh pemuda seusianya. Contoh yang paling jelas adalah keikhlasannya untuk menjadi tameng Rasulullah SAW saat beliau hijrah, dengan menempati tempat tidur beliau. Ia juga terlibat dalam peperangan yang hebat, seperti dalam perang Al Ahzab, dia pula yang telah menembus benteng Khaibar. Sehingga dia dijuluki sebagai pahlawan Islam yang pertama.

Ali bin Abu Thalib adalah seorang dengan perawakan sedang, antara tinggi dan pendek. Perutnya agak menonjol. Pundaknya lebar. Kedua lengannya berotot, seakan sedang mengendarai singa. Lehernya berisi. Bulu jenggotnya lebat. Kepalanya botak, dan berambut di pinggir kepala. Matanya besar. Wajahnya tampan. Kulitnya amat gelap. Postur tubuhnya tegap dan proporsional. Bangun tubuhnya kokoh, seakan-akan dari baja. Berisi. Jika berjalan seakan-akan sedang turun dari ketinggian, seperti berjalannya Rasulullah SAW. Seperti dideskripsikan dalam kitab Usudul Ghaabah fi Ma'rifat ash Shahabah: adalah Ali bin Abi Thalib bermata besar, berkulit hitam, berotot kokoh, berbadan besar, berjenggot lebat, bertubuh pendek, amat fasih dalam berbicara, berani, pantang mundur, dermawan, pemaaf, lembut dalam berbicara, dan halus perasaannya.

Jika ia dipanggil untuk berduel dengan musuh di medan perang, ia segera maju tanpa gentar, mengambil perlengkapan perangnya, dan menghunuskan pedangnya. Untuk kemudian menjatuhkan musuhnya dalam beberapa langkah. Karena sesekor singa, ketika ia maju untuk menerkam mangsanya, ia bergerak dengan cepat bagai kilat, dan menyergap dengan tangkas, untuk kemudian membuat mangsa tak berkutik.

Tadi adalah sifat-sifat fisiknya. Sedangkan sifat-sifat kejiwaannya, maka ia adalah sosok yang sempurna, penuh dengan kemuliaan.

Keberaniannya menjadi perlambang para kesatria pada masanya. Setiap kali ia menghadapi musuh di medan perang, maka dapat dipastikan ia akan mengalahkannya.

Seorang yang takwa tak terkira, tidak mau masuk dalam perkara yang syubhat, dan tidak pernah melalaikan syari'at.

Seorang yang zuhud, dan memilih hidup dalam kesederhanaan. Ia makan cukup dengan berlauk-kan cuka, minyak dan roti kering yang ia patahkan dengan lututnya. Dan memakai pakaian yang kasar, sekadar untuk menutupi tubuh di saat panas, dan menahan dingin di kala hawa dingin menghempas.

Penuh hikmah, adalah sifatnya yang jelas. Dia akan berhati-hati meskipun dalam sesuatu yang ia lihat benar, dan memilih untuk tidak mengatakan dengan terus terang, jika hal itu akan membawa mudharat bagi umat. Ia meletakkan perkara pada tempatnya yang tepat. Berusaha berjalan seirama dengan rekan-rekan pembawa panji dakwah, seperti keserasian butiran-butiran air di lautan.

Ia bersikap lembut, sehingga banyak orang yang sezaman dengannya melihat ia sedang bergurau, padahal hal itu adalah suatu bagian dari sifat kesempurnaan yang melihat apa yang ada di balik sesuatu, dan memandang kepada kesempurnaan. Ia menginginkan agar realitas yang tidak sempurna berubah menjadi lurus dan meningkat ke arah kesempurnaan. Gurauan adalah 'anak' dari kritik. Dan ia adalah 'anak' dari filsafat. Menurutku, gurauan yang tepat adalah suatu tanda ketinggian intelektualitas para tokoh pemikir dalam sejarah.

Ia terkenal kefasihannya. Sehingga ucapan-ucapannya mengandung nilai-nilai sastra Arab yang jernih dan tinggi. Baik dalam menciptakan peribahasa maupun hikmah. Ia juga mengutip dari redaksi Al Quran, dan hadits Rasulullah SAW, sehingga menambah benderang dan semerbak kata-katanya. Yang membuat dirinya berada di puncak kefasihan bahasa dan sastra Arab.

Ia amat loyal terhadap pendidiknya, Nabi-nya, juga Rabb-nya. Serta berbuat baik kepada kerabatnya. Amat mementingkan istrinya yang pertama, Fathimah az Zahra. Dan ia selalu berusaha memberikan apa yang baik dan indah kepada orang yang ia senangi, kerabatnya atau kenalannya.

Ali Bin Abu Thalib berpendirian teguh, sehingga menjadi tokoh yang namanya terpatri dalam sejarah. Tidak mundur dalam membela prinsip dan sikap. Sehingga banyak orang yang menuduhnya bodoh dalam politik, tipu daya bangsa Arab, dan dalam hal melembutkan sikap musuh, sehingga kesulitan menjadi berkurang. Namun, sebenarnya kemampuannya jauh di atas praduga yang tidak benar, karena ia tahu apa yang ia inginkan, dan menginginkan apa yang ia tahu. Sehingga, di samping kemanusiaannya, ia seakan-akan adalah sebuah gunung yang kokoh, yang mencengkeram bumi.


Istri-istri Ali bin Abu Thalib

Setelah Fathimah az Zahra wafat, Imam Ali menikahi Umamah bin Abi Al Ash bin Rabi' bin Abdul Uzza al Qurasyiyyah. Selanjutnya menikahi Umum Banin bini Haram bin Khalid bin Darim al Kulabiyah. Kemudian Laila binti Mas'ud an Nahsyaliyyah, ad Daarimiyyah dari Tamim. Berikutnya Asmaa binti 'Umais, yang sebelumnya merupakan istri Ja'far bin Abi Thalib dan selanjutnya menjadi istri Abu Bakar (hingga ia meninggal), dan berikutnya menjadi istri imam Ali. Selanjutnya ia menikahi Ummu Habib ash Shahbaa at Taghalbiyah. Kemudian, Khaulah binti Iyas bin Ja1far al Hanafiyyah. Selanjutnya Ummu Sa'd ats Tsaqafiyyah. Dan Mukhabba'ah bintih Imri'il Qais al Kulabiyyah.


Menjadi Khalifah

Ketika Ali bin Abu Thalib di angkat menjadi khalifah ke empat menggantikan Khalifah Ustman bin Affan, maka ia tidak pernah melakukan kecurangan ataupun penyelewengan dalam pemerintahannya. Ia tidak pernah melakukan korupsi ataupun memakan uang rakyat yang terdapat di baitul maal. Namun Ia lebih memilih untuk bekerja sendiri ataupun menjual harta benda miliknya sendiri untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari.

Bahkan diceritakan bahwa Ia pernah pergi ke pasar untuk menawarkan pedangnya kepada orang-orang yang berada di sana sambil berkata, "Adakah di antara kalian yang akan membeli pedangku ini, karena hari ini aku sedang tidak mempunyai uang?" Kemudian orang-orang balik bertanya kepadanya, "Bukankah anda seorang Khalifah yang mempunyai uang banyak ya Amirul Mukminin?" Lalu Ali pun menjawab, "Kalau seandainya aku mempunyai uang empat dirham saja, tentu aku tidak akan menjual pedang kesayanganku ini,"

Pernah suatu ketika Ali bin Abu Thalib tengah menangis di mihrab Masjid Nabawi seraya berkata, "Wahai dunia, janganlah engkau berupaya memperdayaiku Tetapi perdayalah orang-orang selainku. Sungguh aku telah menceraikanmu dari diriku dan jangan engkau kembali kepadaku!"

Akhirnya lelaki yang dicintai Allah dan Rasul-nya ini gugur sebagai syahid di dekat pintu masjid Kufah pada 17 Ramadhan 40 H, akibat ditikam dengan pedang beracun di bagian kening oleh Abdurrahman bin Muljam, ketika ia akan melaksanakan salat subuh berjamaah dengan kaum muslimin.

Bagaimanapun sejarah telah mencatat Bahwa Sayyidina Ali Bin Abu Thalib RA adalah seorang laki-laki yang gagah berani, tangkas cerdas, dan dicintai Allah dan Rasul-Nya.


Kisah Lain


Ali Bin Abu Thalib tumbuh menjadi anak yang cepat matang. Di wajahnya tampak jelas kematangannya, yang juga menunjukkan kekuatan, dan ketegasan. Saat ia menginjak usia pemuda, ia segera berperan penuh dalam dakwah Islam, tidak seperti yang dilakukan oleh pemuda seusianya. Contoh yang paling jelas adalah keikhlasannya untuk menjadi tameng Rasulullah SAW saat beliau hijrah, dengan menempati tempat tidur beliau. Ia juga terlibat dalam peperangan yang hebat, seperti dalam perang Al Ahzab, dia pula yang telah menembus benteng Khaibar. Sehingga dia dijuluki sebagai pahlawan Islam yang pertama.

Ali bin Abu Thalib adalah seorang dengan perawakan sedang, antara tinggi dan pendek. Perutnya agak menonjol. Pundaknya lebar. Kedua lengannya berotot, seakan sedang mengendarai singa. Lehernya berisi. Bulu jenggotnya lebat. Kepalanya botak, dan berambut di pinggir kepala. Matanya besar. Wajahnya tampan. Kulitnya amat gelap. Postur tubuhnya tegap dan proporsional. Bangun tubuhnya kokoh, seakan-akan dari baja. Berisi. Jika berjalan seakan-akan sedang turun dari ketinggian, seperti berjalannya Rasulullah SAW. Seperti dideskripsikan dalam kitab Usudul Ghaabah fi Ma'rifat ash Shahabah: adalah Ali bin Abi Thalib bermata besar, berkulit hitam, berotot kokoh, berbadan besar, berjenggot lebat, bertubuh pendek, amat fasih dalam berbicara, berani, pantang mundur, dermawan, pemaaf, lembut dalam berbicara, dan halus perasaannya.

Jika ia dipanggil untuk berduel dengan musuh di medan perang, ia segera maju tanpa gentar, mengambil perlengkapan perangnya, dan menghunuskan pedangnya. Untuk kemudian menjatuhkan musuhnya dalam beberapa langkah. Karena sesekor singa, ketika ia maju untuk menerkam mangsanya, ia bergerak dengan cepat bagai kilat, dan menyergap dengan tangkas, untuk kemudian membuat mangsa tak berkutik.

Tadi adalah sifat-sifat fisiknya. Sedangkan sifat-sifat kejiwaannya, maka ia adalah sosok yang sempurna, penuh dengan kemuliaan.

Keberaniannya menjadi perlambang para kesatria pada masanya. Setiap kali ia menghadapi musuh di medan perang, maka dapat dipastikan ia akan mengalahkannya.

Seorang yang takwa tak terkira, tidak mau masuk dalam perkara yang syubhat, dan tidak pernah melalaikan syari'at.

Seorang yang zuhud, dan memilih hidup dalam kesederhanaan. Ia makan cukup dengan berlauk-kan cuka, minyak dan roti kering yang ia patahkan dengan lututnya. Dan memakai pakaian yang kasar, sekadar untuk menutupi tubuh di saat panas, dan menahan dingin di kala hawa dingin menghempas.

Penuh hikmah, adalah sifatnya yang jelas. Dia akan berhati-hati meskipun dalam sesuatu yang ia lihat benar, dan memilih untuk tidak mengatakan dengan terus terang, jika hal itu akan membawa mudharat bagi umat. Ia meletakkan perkara pada tempatnya yang tepat. Berusaha berjalan seirama dengan rekan-rekan pembawa panji dakwah, seperti keserasian butiran-butiran air di lautan.

Ia bersikap lembut, sehingga banyak orang yang sezaman dengannya melihat ia sedang bergurau, padahal hal itu adalah suatu bagian dari sifat kesempurnaan yang melihat apa yang ada di balik sesuatu, dan memandang kepada kesempurnaan. Ia menginginkan agar realitas yang tidak sempurna berubah menjadi lurus dan meningkat ke arah kesempurnaan. Gurauan adalah 'anak' dari kritik. Dan ia adalah 'anak' dari filsafat. Menurutku, gurauan yang tepat adalah suatu tanda ketinggian intelektualitas para tokoh pemikir dalam sejarah.

Ia terkenal kefasihannya. Sehingga ucapan-ucapannya mengandung nilai-nilai sastra Arab yang jernih dan tinggi. Baik dalam menciptakan peribahasa maupun hikmah. Ia juga mengutip dari redaksi Al Quran, dan hadits Rasulullah Saw, sehingga menambah benderang dan semerbak kata-katanya. Yang membuat dirinya berada di puncak kefasihan bahasa dan sastra Arab.

Ia amat loyal terhadap pendidiknya, Nabi-nya, juga Rabb-nya. Serta berbuat baik kepada kerabatnya. Amat mementingkan istrinya yang pertama, Fathimah az Zahra. Dan ia selalu berusaha memberikan apa yang baik dan indah kepada orang yang ia senangi, kerabatnya atau kenalannya.

Ali Bin Abu Thalib berpendirian teguh, sehingga menjadi tokoh yang namanya terpatri dalam sejarah. Tidak mundur dalam membela prinsip dan sikap. Sehingga banyak orang yang menuduhnya bodoh dalam politik, tipu daya bangsa Arab, dan dalam hal melembutkan sikap musuh, sehingga kesulitan menjadi berkurang. Namun, sebenarnya kemampuannya jauh di atas praduga yang tidak benar, karena ia tahu apa yang ia inginkan, dan menginginkan apa yang ia tahu. Sehingga, di samping kemanusiaannya, ia seakan-akan adalah sebuah gunung yang kokoh, yang mencengkeram bumi.


Dari berbagai sumber. Klik Disini


Pada tahun pertama dari Khilafah Ustman bin Affan, yaitu tahun 24 Hijriah, negeri Rayyi berhasil ditaklukkan. Sebelumnya, negeri ini pernah ditaklukkan, tetapi kemudian dibatalkan. Pada tahun yang sama, berjangkit wabah demam berdarah yang menimpa banyak orang. Khalifah Ustman bin Affan sendiri terkena sehingga beliau tidak dapat menunaikan ibadah haji. Pada tahun ini, Ustman bin Affan mengangkat Sa'ad bin Abi Waqqash menjadi gubernur Kufah menggantikan Mughirah bin Syu'bah.

Di tahun 25 Hijriah, Ustman bin Affan memecat Sa'ad bin Abi Waqqash dari jabatan gubernur Kuffah dan sebagai gantinya diangkatlah Walid bin Uqbah bin Abi Mu'ith (seorang shahabi dan saudara seibu dengan Ustman bin Affan). Inilah sebab pertama dituduhnya Ustman bin Affan melakukan nepotisme.

Pada tahun 26 Hijriah, Ustman bin Affan melakukan perluasan Masjidil Haram dengan membeli sejumlah tempat dari para pemiliknya lalu disatukan dengan masjid. Pada tahun 17 Hijriah, Mu'awiyah melancarkan serangan ke Qubrus (Siprus) dengan membawa pasukannya menyeberangi lautan. Di antara pasukan ini terdapat Ubadah bin Shamit dan istrinya, Ummu Haram binti Milhan al-Ansharish. Dalam perjalanan, Ummu Haram jatuh dari kendaraannya kemudian syahid dan dikuburkan di sana. Nabi SAW pernah memberitahukan kepada Ummu Haram tentang pasukan ini, seraya berdoa agar Ummu Haram menjadi salah seorang dari anggota pasukan ini. Pada tahun ini, Ustman bin Affan menurunkan Amru bin Ash dari jabatan gubernur Mesir dan sebagai gantinya diangkatlah Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarh. Dia kemudian menyerbu Afrika dan berhasil menaklukkannya dengan mudah. Di tahun ini pula, Andalusia berhasil ditaklukkan.

Tahun 29 Hijriah, negeri-negeri lain berhasil ditaklukkan. Pada tahun ini, Ustman bin Affan memperluas Masjid Madinah al-Munawarah dan membangunnya dengan batu-batu berukir. Ia membuat tiangnya dari batu dan atapnya dari kayu (tatal). Panjangnya 160 depa dan luasnya 150 depa.

Negeri-negeri Khurasan ditaklukkan pada tahun ke-30 Hijriah sehingga banyak terkumpul kharaj (infaq penghasilan) dan harta dari berbagai penjuru. Allah memberikan karunia yang melimpah dari semua negeri kepada kaum Muslimin.
Pada tahun 32 Hijriah, Abbas bin Abdul Muththalib, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Mas'ud, dan Abu Darda' wafat. Orang-orang yang pernah menjabat sebagai hakim negeri Syam sampai saat itu ialah Mu'awiyah, Abu Dzarr bin Jundab bin Junadah al-Ghiffari, dan Zaid bin Abdullah. Pada tahun ke-33 Hijriah, Abdullah bin Mas'ud bin Abi Sarh menyerbu Habasyah (Ethiopia).

Seperti diketahui, Ustman bin Affan mengangkat para kerabatnya dari bani Umaiyyah menduduki berbagai jabatan. Kebijakan ini mengakibatkan dipecatnya sejumlah sahabat dari berbagai jabatan mereka dan digantikan oleh orang yang diutamakannya dari kerabatnya. Kebijakan ini mengakibatkan rasa tidak senang banyak orang terhadap Ustman bin Affan. Hal inilah yang dijadikan pemicu dan sandaran oleh orang Yahudi yaitu Abdullah bin Saba' dan teman-temannya untuk membangkitkan fitnah.

Ibnu Katsir meriwayatkan bahwa penduduk Kufah umumnya melakukan pemberontakan dan konspirasi terhadap Sa'id Ibnul Ash, pemimpin Kufah. Mereka kemudian mengirim utusan kepada Ustman bin Affan guna menggugat kebijakannya dan alasan pemecatan sejumlah orang dari bani Umayyah. Dalam pertemuan ini, utusan tersebut berbicara kepada Ustman bin Affan dengan bahasa yang kasar sekali sehingga membuat dadanya sesak. Beliau lalu memanggil semua pimpinan pasukan untuk dimintai pendapatnya.

Akhirnya, berkumpullah di hadapannya, Mu'awiyah bin Abu Sufyan (pemimpin negeri Syam), Amr ibnul Ash (pemimpin negeri Mesir), Abduliah bin Sa'ad bin Abi Sarh (pemimpin negeri Maghrib/Maroko), Sa'id ibnul Ash (pemimpin negeri Kufah), dan Abdullah bin Amir (pemimpin negeri Basrah/Irak). Kepada mereka, Ustman bin Affan meminta pandangan mengenai peristiwa yang terjadi dan perpecahan yang muncul. Masing-masing dari mereka kemudian mengemukakan pendapat dan pandangannya. Setelah mendengar berbagai pandangan dan mendiskusikannya, akhirnya Ustman bin Affan memutuskan untuk tidak melakukan penggantian para gubernur dan pembantunya. Kepada masing-masing mereka, Ustman bin Affan memerintahkan agar menjinakkan hati para pemberontak dan pembangkang tersebut dengan memberi harta dan mengirim mereka ke medan peperangan lain dan pos-pos perbatasan.

Setelah peristiwa ini, di Mesir muncul satu kelompok dari anak-anak para sahabat. Mereka menggerakkan massa untuk menentang Ustman bin Affan dan menggugat sebagian besar tindakannya. Kelompok ini melakukan tindakan tersebut tentu setelah Abdullah bin Saba' berhasil menyebarkan kerusakan dan fitnah di Mesir. Ia berhasil menghasut sekitar enam ratus orang untuk berangkat ke Madinah dengan berkedok melakukan ibadah umrah, namun sebenarnya mereka bertujuan menyebarkan fitnah dalam masyarakat Madinah. Tatkala mereka hampir memasuki Madinah, Ustman bin Affan mengutus Ali bin Abu Thalib untuk menemui mereka dan berbicara kepada mereka. Ali bin Abu Thalib kemudian berangkat menemui mereka di Juhfah. Mereka ini mengagungkan Ali bin Abu Thalib dengan sangat berlebihan, karena Abdullah bin Saba' telah berhasil mempermainkan akal pikiran mereka dengan berbagai khurafat dan penyimpangan. Setelah Ali bin Abu Thalib membantah semua penyimpangan pemikiran yang sesat itu, mereka menyesali diri seraya berkata, "Orang inikah yang kalian jadikan sebagai sebab dan dalih untuk memerangi dan memprotes Khalifah (Ustman bin Affan)?" Mereka kemudian kembali dengan membawa kegagalan.

Ketika menghadap Ustman bin Affan, Ali bin Abu Thalib melaporkan kepulangan mereka dan mengusulkan agar Ustman bin Affan menyampaikan pidato kepada orang banyak, guna meminta maaf atas tindakannya mengutamakan sebagian kerabatnya dan bahwa ia telah bertobat dari tindakan tersebut.

Usulan ini diterima olehnya. dan Ustman bin Affan kemudian berpidato di hadapan orang banyak pada hari Jum'at. Dalam pidato ini, di antaranya Ustman bin Affan mengatakan, "Ya Allah, aku memohon ampunan kepada-Mu dan aku bertobat kepada-Mu. Ya Allah, aku adalah orang yang pertama bertobat dari apa yang telah aku lakukan,"

Pernyataan ini diucapkannya sambil menangis sehingga membuat semua orang ikut menangis. Ustman bin Affan kemudian menegaskan kembali, bahwa ia akan menghentikan kebijakan yang menyebabkan timbulnya protes tersebut. Ditegaskannya bahwa ia akan memecat Marwan dan kerabatnya.

Setelah penegasan tersebut, Marwan bin Hakam menemui Ustman bin Affan. Dia menghamburkan kecaman dan protes kemudian berkata, "Andaikan ucapanmu itu engkau ucapkan pada waktu engkau masih sangat kuat, niscaya aku adalah orang yang pertama menerima dan mendukungnya, tetapi engkau mengucapkannya ketika banjir bah telah mencapai puncak gunung. Demi Allah, melakukan suatu kesalahan kemudian meminta ampunan dari-Nya adalah lebih baik daripada tobat karena takut kepada-Nya. Jika suka, engkau dapat melakukan tobat tanpa menyatakan kesalahan kami,"

Marwan kemudian memberitahukan kepadanya bahwa di balik pintu ada segerombolan orang. Ustman bin Affan menunjuk Marwan untuk berbicara kepada mereka sesukanya. Marwan lalu berbicara kepada mereka dengan suatu pembicaraan yang buruk, sehingga merusak apa yang selama ini diperbaiki oleh Ustman bin Affan. Dalam pembicaraannya, Marwan berkata, "Kalian datang untuk merebut kerajaan dari tangan kami. Keluarlah kalian dari sisi kami. Demi Allah, jika kalian membangkang kepada kami, niscaya kalian akan menghadapi kesulitan dan tidak akan menyukai akibatnya,"

Setelah mengetahui hal ini, Ali bin Abu Thalib segera datang menemui Ustman bin Affan dan dengan nada marah, ia berkata, "Mengapa engkau merelakan Marwan, sementara dia tidak menghendaki kecuali memalingkan engkau dari agama dan pikiranmu! Demi Allah, Marwan adalah orang yang tidak layak dimintai pendapat tentang agama atau dirinya sekalipun. Demi Allah, aku melihat bahwa dia akan menghadirkan kamu kemudian tidak akan mengembalikan kamu lagi. Saya tidak akan kembali setelah ini karena teguranku kepadamu,"

Setelah Ali bin Abu Thalib keluar, Na'ilah masuk menemui Ustman bin Affan (ia telah mendengarkan apa yang diucapkan Ali bin Abu Thalib kepada Ustman bin Affan) kemudian berkata, "Aku harus bicara atau diam!"
Ustman bin Affan menjawab, "Bicaralah!"
Na'ilah berkata, "Aku telah mendengar ucapan Ali bin Abu Thalib bahwa dia tidak akan kembali lagi padamu, karena engkau telah menaati Marwan dalam segala apa yang dikehendakinya,"
Ustman bin Affan berkata, "Berilah pendapatmu kepadaku,"
Na'ilah memberikan pendapatnya, "Bertaqwalah kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Ikutilah sunnah kedua sahabatmu yang terdahulu (Abu Bakar Ash Siddiq dan Umar Bin Khattab), sebab jika engkau menaati Marwan, niscaya dia akan membunuhmu. Marwan adalah orang yang tidak memiliki harga di sisi Allah, apalagi rasa takut dan cinta. Utuslah seseorang menemui Ali bin Abu Thalib guna meminta pendapatnya, karena dia memiliki kekerabatan denganmu dan dia tidak layak ditentang,"

Ustman bin Affan kemudian mengutus seseorang kepada Ali bin Abu Thalib, tetapi dia menolak datang. Ali bin Abu Thalib berkata, "Aku telah memberitahukan kepadanya bahwa aku tidak akan kembali lagi. Sikap ini merupakan permulaan krisis yang menyulut api fitnah dan memberikan peluang kepada para tukang fitnah, untuk memperbanyak kayu bakarnya dan mencapai tujuan-tujuan busuk yang mereka inginkan,"

Ustman bin Affan menjabat sebagai khalifah selama dua belas tahun. Tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan celah untuk mendendamnya. Beliau bahkan lebih dicintai oleh orang-orang Quraisy umumnya ketimbang Umar bin Khattab, karena Umar bin Khattab bersikap keras terhadap mereka, sedangkan Ustman bin Affan bersikap lemah lembut dan selalu menjalin hubungan dengan mereka.

Akan tetapi, masyarakat mulai berubah sikap terhadapnya, tatkala ia mengutamakan kerabatnya dalam pemerintahan, sebagaimana telah kami sebutkan. Kebijakan ini dilakukan Ustman bin Affan atas pertimbangan silaturrahim yang merupakan salah satu perintah Allah. Akan tetapi, kebijakan ini pada akhirnya menjadi sebab pembunuhannya.

Ibnu Asakir meriwayatkan dari az-Zuhri, ia berkata, "Aku pernah berkata kepada Sa'id bin Musayyab, 'Ceritakanlah kepadaku tentang pembunuhan Usman! Bagaimana hal ini sampai terjadi!"
Ibnul Musayyab berkata, 'Usman dibunuh secara aniaya. Pembunuhnya adalah kejam dan pengkhianatnya adalah orang yang memerlukan ampunan,". Ibnul Musayyab kemudian menceritakan kepada az-Zuhri tentang sebab pembunuhannya dan bagaimana hal itu dilakukan. Kami sebutkan di sini secara singkat.

Para penduduk Mesir datang mengadukan Ibnu Abi Sarh. Setelah pengaduan ini, Ustman bin Affan menulis surat kepadanya yang berisikan nasihat dan peringatan terhadapnya. Akan tetapi, Abu Sarh tidak mau menerima peringatan Ustman bin Affan, bahkan mengambil tindakan keras terhadap orang yang mengadukannya.

Selanjutnya, para tokoh sahabat, seperti Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, dan Aisyah mengusulkan agar Ustman bin Affan memecat Ibnu Abi Sarh dan menggantinya dengan orang lain. Ustman bin Affan lalu berkata kepada mereka, "Pilihlah orang yang dapat menggantikannya,". Mereka mengusulkan Muhammad bin Abu Bakar. Ustman bin Affan kemudian menginstruksikan hal tersebut dan mengangkatnya secara resmi. Surat keputusan ini kemudian dibawa oleh sejumlah sahabat ke Mesir. Baru tiga hari perjalanan dari Madinah, tiba-tiba mereka bertemu dengan seorang pemuda hitam berkendaraan unta yang berjalan mundur maju.

Para sahabat Rasulullah itu kemudian menghentikannya seraya berkata, "Mengapa kamu ini! Kamu terlihat seperti orang yang lari atau mencari sesuatu!" Ia menjawab, "Saya adalah pembantu Amirul Mukminin yang diutus untuk menemui Gubernur Mesir," Ketika ditanya, "Utusan siapa kamu ini!" Dengan gagap dan ragu-ragu, ia kadang-kadang menjawab, "Saya pembantu Amirul Mukminin," dan kadang-kadang pula ia menjawab, "Saya pembantu Marwan," Mereka kemudian mengeluarkan sebuah surat dari barang bawaannya. Di hadapan dan disaksikan oleh para sahabat dari Anshar dan Muhajirin tersebut, Muhammad bin Abu Bakar membuka surat tersebut yang ternyata berisi, "Jika Muhammad beserta si fulan dan si fulan datang kepadamu, bunuhlah mereka dan batalkanlah suratnya. Dan tetaplah engkau melakukan tugasmu sampai engkau menerima keputusanku. Aku menahan orang yang akan datang kepadaku mengadukan dirimu,"

Akhirnya, para sahabat itu kembali ke Madinah dengan membawa surat tersebut. Mereka kemudian mengumpulkan para tokoh sahabat dan memberitahukan ihwal surat dan kisah utusan tersebut.

Peristiwa ini membuat seluruh penduduk Madinah gempar dan benci terhadap Ustman bin Affan. Setelah melihat hal ini, Ali bin Abu Thalib segera memanggil beberapa tokoh sahabat, antara lain Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Abu Waqqash, dan Ammar. Bersama mereka, Ali bin Abu Thalib dengan membawa surat, pembantu, dan unta tersebut, masuk menemui Ustman bin Affan. Ali bin Abu Thalib bertanya kepada Ustman bin Affan, "Apakah pemuda ini pembantumu?"
Ustman bin Affan menjawab, "Ya,"
Ali bin Abu Thalib bertanya lagi, "Apakah unta ini untamu?"
Ustman bin Affan menjawab, "Ya,"
Ali bin Abu Thalib bertanya lagi, "Apakah kamu pernah menulis surat ini?"
Ustman bin Affan menjawab, "Tidak," Ustman bin Affan kemudian bersumpah dengan nama Allah, "Aku tidak pernah menulis surat tersebut, tidak pernah memerintahkan penulisan surat, dan tidak mengetahui ihwal surat tersebut,"
Ali bin Abu Thalib bertanya lagi, "Apakah stempel ini, stempelmu?"
Ustman bin Affan menjawab, "Ya,"
Ali bin Abu Thalib bertanya lagi, "Bagaimana pembantumu ini bisa keluar dengan menunggang untamu dan membawa surat yang distempel, dengan stempel-mu, sedangkan engkau tidak mengetahuinya?"
Ustman bin Affan kemudian bersumpah dengan nama Allah, "Aku tidak pernah menulis surat ini, tidak pernah memerintahkannya, dan tidak pernah pula mengutus pembantu ini ke Mesir,"

Mereka kemudian memeriksa tulisan surat tersebut dan mengetahui bahwa surat itu ditulis oleh Marwan. Mereka lalu meminta kepada Ustman bin Affan agar menyerahkan Marwan kepada mereka, tetapi Ustman bin Affan tidak bersedia melakukannya, padahal Marwan saat itu berada di dalam rumahnya. Akhirnya, orang-orang keluar dari rumah Ustman bin Affan dengan perasaan marah. Mereka mengetahui bahwa Ustman bin Affan tidak berdusta dalam bersumpah, tetapi mereka marah karena dia tidak bersedia menyerahkan Marwan kepada mereka.

Setelah itu, tersiarlah berita tersebut di seluruh Kota Madinah, sehingga sebagian masyarakat mengepung rumah Ustman bin Affan dan tidak memberikan air kepadanya. Setelah Ustman bin Affan dan keluarganya merasakan kepayahan akibat terputusnya air, ia menemui mereka seraya berkata, "Adakah seseorang yang sudi memberi tahu Ali bin Abu Thalib agar memberi air kepada kami?" Setelah mendengar berita ini, Ali bin Abu Thalib segera mengirim tiga qirbah air. Kiriman air ini pun sampai kepada Ustman bin Affan melalui cara yang sulit sekali.

Pada saat itu, Ali bin Abu Thalib mendengar desas-desus tentang adanya orang yang ingin membunuh Ustman bin Affan, lalu ia berkata, "Yang kita inginkan darinya adalah Marwan, bukan pembunuhan Ustman bin Affan," Ali bin Abu Thalib kemudian berkata kepada kedua anaknya, Hasan dan Husain, "Pergilah dengan membawa pedang kalian untuk menjaga pintu rumah Ustman. Jangan biarkan seorang pun masuk kepadanya," Hal ini juga dilakukan oleh sejumlah sahabat Rasulullah saw demi menjaga Ustman bin Affan. Ketika para pengacau menyerbu pintu rumah Ustman bin Affan ingin masuk dan membunuhnya, mereka dihentikan oleh Hasan dan Husain serta sebagian sahabat.

Sejak itu, mereka mengepung rumah Ustman bin Affan lebih ketat dan secara sembunyi-sembunyi berhasil masuk dari atap rumah. Mereka berhasil menebaskan pedang sehingga Khalifah Ustman bin Affan terbunuh. Ketika mendengar berita ini, Ali bin Abu Thalib datang dengan wajah marah, seraya berkata kepada dua orang anaknya, "Bagaimana Amirul Mukminin bisa dibunuh, sedangkan kalian berdiri menjaga pintu?" Ali bin Abu Thalib kemudian menampar Hasan dan memukul dada Husain, serta mengecam Muhammad bin Thalhah dan Abdullah bin Zubair. Demikianlah, pembunuhan Ustman bin Affan merupakan pintu dari mata rantai fitnah yang terus membentang tanpa akhir.

Pertama, di antara keutamaan dan keistimewaan yang dapat dicatat pada periode pemerintahan Ustman bin Affan ialah banyaknya penaklukkan dan perluasan. Pada periode ini, seluruh Khurasan berhasil ditaklukkan. Demikian pula Afrika sampai Andalusia. Disamping itu, tercatat pula sejumlah prestasi mulia dan agung yang pernah dilakukan Ustman bin Affan, seperti menyatukan orang dalam bacaan dan tulisan al-Qur'an yang tepercaya setelah berkembangnya berbagai bacaan yang di khawatirkan dapat membingungkan orang. Juga seperti prestasinya memperluas Masjid Nabawi di Madinah al-Munawwarah.

Tidaklah merusak kemuliaan Ustman bin Affan jika dalam berbagai penaklukannya ia mempergunakan Abdullah bin Sa'id bin Abi Sarh dan orang-orang semisalnya, karena Islam menghapuskan semua dosa sebelumnya. Barangkali Ibnu Sarh dengan amal-amalnya yang mulia ini telah menghapuskan segala yang pernah dia lakukan sebelumnya. Bahkan seperti diketahui, ia tetap di jalan lurus setelah itu dan termasuk orang yang tetap baik agamanya.

Kedua, betapa pun keras kritik yang dilontarkan kepada Ustman bin Affan karena kebijakannya dalam memilih para gubemur dan pembantunya dari kaum kerabatnya (Bani Umayyah), kita harus menyadari bahwa kebijakan tersebut merupakan ijtihad pribadinya. Ustman bin Affan bahkan telah mempertahankan pendapat tersebut di hadapan sejumlah besar para sahabat. Bagaimanapun sikap kita terhadap pendapat dan pembelaan tersebut, sewaktu mengkritik, kita tidak boleh melanggar adab dalam melontarkan analisis atau pendapat. Juga kesalahan yang dilakukannya tersebut -jika hal itu kita anggap sebagai suatu kesalahan- jangan sampai melupakan kita pada kedudukannya yang mulia di sisi Rasulullah SAW, keutamaannya sebagai generasi pertama dalam Islam, dan sabda Rasulullah SAW kepadanya pada Perang Tabuk, "Tidaklah akan membahayakan Ustman apa yang dilakukannya setelah hari ini,"

Hendaknya kita pun menyadari bahwa pembicaraan dan sanggahan para sahabat, terhadap kebijakannya saat itu, tidak sama dengan kritik dan gugatan yang kita lakukan sekarang terhadap masalah yang sama.

Sanggahan para sahabat terhadapnya, pada saat itu, merupakan pencegahan bagi suatu permasalahan yang ada dan mungkin dapat diubah atau diperbaiki. Segala pembicaraan, di saat itu, sekalipun bermotivasikan kritik dan menyalahkan, merupakan tindakan positif dan bermanfaat. Sementara itu, pembicaraan kita pada hari ini, setelah masalah tersebut menjadi suatu peristiwa sejarah, hanyalah merupakan tindakan kurang ajar terhadap para sahabat yang telah diberikan pujian oleh Rasulullah SAW. Beliau melarang kita bersikap tidak sopan kepada mereka, terutama Khilafah Rasyidah.

Bagi siapa saja yang menginginkan amanah ilmiah dalam mengemukakan peristiwa ini, cukuplah dengan berpegang teguh kepada penjelasan yang dikemukakan oleh para penulis dan ahli sejarah terpercaya, seperti Thabari, Ibnu Katsir, dan Ibnul Atsir.

Ketiga, bersamaan dengan munculnya benih-benih fitnah pada akhir-akhir pemerintahan Ustman bin Affan, muncul pula nama Abdullah bin Saba' di pentas sejarah. Peranan Ibnu Saba' sangat menonjol dalam mengobarkan api fitnah ini. Abdullah bin Saba' adalah seorang Yahudi berasal dari Yaman. Ia datang ke Mesir pada masa pemerintahan Ustman bin Affan. Ia menghasut orang untuk membangkang pada Ustman bin Affan dengan dalih mencintai Ali bin Abu Thalib dan keluarga (ahlul bait) Nabi SAW. Di antaranya, ia mengatakan kepada orang-orang, "Tidakkah Muhammad SAW lebih baik dari Isa AS di sisi Allah? Jika demikian halnya, Muhammad saw lebih berhak kembali kepada manusia daripada Isa AS. Akan tetapi, Muhammad SAW akan kembali kepada mereka dalam diri anak pamannya, Ali bin Abu Thalib, yang merupakan orang terdekat kepadanya,"

Dengan khurafat ini, Abdullah bin Saba' berhasil menipu masyarakat Mesir, padahal sebelumnya ia gagal mendapatkan pengikut di Yaman. Orang-orang yang tertipu oleh perkataannya inilah yang berangkat ke Madinah guna memberontak kepada Ustman bin Affan. Akan tetapi, mereka berhasil dihalau oleh Ali bin Abu Thalib, sebagaimana telah Kita ketahui.

Dari sini, kita mengetahui bahwa kelahiran perpecahan umat Islam menjadi dua kubu: Sunni dan Syi'i, dimulai pada periode ini. Perpecahan ini sepenuhnya merupakan buah tangan Abdullah bin Saba'. Belum lagi penyiksaan dan kekejaman yang dialami oleh Ahlul Bait atau Syi'ah di tangan pemerintahan Umawiyah dan lainnya. Yang penting, bagaimana pun kedua peristiwa ini telah masuk ke dalam sejarah, tetapi kita tidak boleh melupakan realitas lainnya.

Keempat, sekali lagi, kita harus mendapatkan kejelasan tentang hakikat hubungan yang berlangsung antara Ustman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib selama periode khilafah yang ketiga ini, juga hakikat sikap yang diambil Ali bin Abu Thalib terhadap Ustman bin Affan. Seperti telah kita ketahui bahwa Ali bin Abu Thalib segera membaiat Ustman bin Affan sebagai khalifah, bahkan menurut kebanyakan ahli sejarah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir, bahwa Ali bin Abu Thalib adalah orang yang pertama membaiat Ustman bin Affan. Kemudian kita ketahui bagaimana Ali bin Abu Thalib mengatakan kepada Ustman bin Affan, ketika ia mendengar segerombolan orang yang dikerahkan oleh Abdullah bin Saba' ke Madinah untuk menggerakkan orang menentangnya, "Aku bereskan kejahatan mereka!" Ali bin Abu Thalib kemudian berangkat dan menemui mereka di Juhfah sampai berhasil menghalau mereka kembali ke Mesir seraya mengatakan, "Inikah orang yang kalian jadikan sebagai sebab dan dalih untuk memerangi dan memprotes Khalifah (Ustman bin Affan)?" Kita telah mengetahui bagaimana Ali bin Abu Thalib dengan penuh keikhlasan, kecintaan, dan kemauan yang jujur memberikan nasihat kepadanya. Sebagaimana kita tahu pula Ali bin Abu Thalib membelanya sampai akhir kehidupannya; bagaimana ia memobilisasi kedua putranya, Hasan dan Husain, untuk menjaga Ustman bin Affan dari ulah orang-orang yang mengepungnya?

Dengan demikian, Ali bin Abu Thalib merupakan pendukung Ustman bin Affan yang terbaik selama khilafahnya, disamping merupakan pembela terbaiknya tatkala menghadapi cobaan berat. Ia bersikap tegas dan keras dalam memberikan nasihat kepadanya di belakang hari, tidak lain dan tidak bukan, hanyalah karena cinta dan ghirah kepadanya.

Hendaklah kita memahami hal ini dengan baik agar kita juga mengetahui bahwa orang besar seperti Sayyidina Ali bin Abu Thalib patut diteladani oleh setiap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Bukti rasa cinta hanyalah berupa shidqul ittiba (mengikuti secara jujur) dan istiqamah (terus menerus) dalam meneladani. Marilah kita jadikan suri tauladannya sebagai teladan yang terbaik bagi kita dan bukti paling nyata yang mengungkapkan cinta sejati kepada beliau.


Kisah1


Dalam kitab Al-Thabaqat, Taj al-Subki menceritakan bahwa ada seorang laki-laki bertamu kepada 'Utsman. Laki-laki tersebut baru saja bertemu dengan seorang perempuan di tengah jalan, lalu ia menghayalkannya. 'Utsman berkata kepada laki-laki itu, "Aku melihat ada bekas zina di matamu," Laki-laki itu bertanya, "Apakah wahyu masih diturunkan sctelah Rasulullah SAW wafat?" `Utsman menjawab, "Tidak, ini adalah firasat seorang mukmin," `Utsman R.A mengatakan hal tersebut untuk mendidik dan menegur laki-laki itu agar tidak mengulangi apa yang telah dilakukannya.

Selanjutnya Taj al-Subki menjelaskan bahwa bila seseorang hatinya jernih, maka ia akan melihat dengan nur Allah, sehingga ia bisa mengetahui apakah yang dilihatnya itu kotor atau bersih. Maqam orang-orang seperti itu berbeda-beda. Ada yang mengetahui bahwa yang dilihatnya itu kotor tetapi ia tidak mengetahui sebabnya. Ada yang maqamnya lebih tinggi karena mengetahui sebab kotornya, seperti 'Utsman R.A. Ketika ada seorang laki-laki datang kepadanya, `Utsman dapat melihat bahwa hati orang itu kotor dan mengetahui sebabnya yakni karena mengkhayalkan seorang perempuan.

Artinya, setiap maksiat itu kotor, dan menimbulkan noda hitam di hati sesuai kadar kemaksiatannya sehingga membuatnya kotor, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, "Sekali-kali tidak demikian, sesungguhnya apa yang mereka kerjakan itu mengotori hati mereka," (QS Al-Muthaffifin [83]: 14).

Semakin lama, kemaksiatan yang dilakukan membuat hati semakin kotor dan ternoda, sehingga membuat hati menjadi gelap dan menutup pintu-pintu cahaya, lalu hati menjadi mati, dan tidak ada jalan lagi untuk bertobat, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, "Dan hati mereka telah dikunci mati, sehingga mereka tidak mengetahui kebahagiaan beriman dan berjihad," (QS Al Taubah [9]: 87)

Sekecil apa pun kemaksiatan akan membuat hati kotor sesuai kadar kemaksiatan itu. Kotoran itu bisa dibersihkan dengan memohon ampun (istighfar) atau perbuatan-perbuatan lain yang dapat menghilangkannya. Hal tersebut hanya diketahui oleh orang yang memiliki mata batin yang tajam seperti 'Utsman bin `Affan, sehingga ia bisa mengetahui kotoran hati meskipun kecil, karena menghayalkan seorang perempuan merupakan dosa yang paling ringan, `Utsman dapat melihat kotoran hati itu dan mengetahui sebabnya. Ini adalah maqam paling tinggi di antara maqam-maqam lainnya. Apabila dosa kecil ditambah dosa kecil lainnya, maka akan bertambah pula kekotoran hatinya, dan apabila dosa itu semakin banyak maka akan membuat hatinya gelap. Orang yang memiliki mata hati akan mampu melihat hal ini. Apabila kita bertemu dengan orang yang penuh dosa sampai gelap hatinya, tetapi kita tidak mampu mengetahui hal tersebut, berarti dalam hati kita masih ada penghalang yang membuat kita tidak mampu melihat hal tersebut, karena orang yang mata hatinya jernih dan tajam pasti akan mampu melihat dosa-dosa orang tersebut.

Kisah 2

Ibnu `Umar R.A menceritakan bahwa Jahjah al-Ghifari mendekati 'Utsman R.A yang sedang berada di atas mimbar. Jahjah merebut tongkat 'Utsman, lalu mematahkannya. Belum lewat setahun, Allah menimpakan penyakit yang menggerogoti tangan Jahjah, hingga merenggut kematiannya. (Riwayat Al-Barudi dan Ibnu Sakan)

Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa Jahjah al-Ghifari mendekati `Utsman yang sedang berkhutbah, merebut tongkat dari tangan `Utsman, dan meletakkan di atas lututnya, lalu mematahkannya. Orang-orang menjerit. Allah lalu menimpakan penyakit pada lutut Jahjah dan tidak sampai setahun ia meninggal. (Riwayat Ibnu Sakan dari Falih bin Sulaiman yang saya kemukakan dalam kitab Hujjatullah `ala al-Alamin)

Kisah 3

Diceritakan bahwa Abdullah bin Salam mendatangi `Utsman R.A yang sedang dikurung dalam tahanan untuk mengucapkan salam kepadanya. 'Utsman bercerita, "Selamat datang saudaraku. Aku melihat Rasulullah SAW dalam ventilasi kecil ini. Rasulullah bertanya, "Utsman, apakah mereka mengurungmu?' Aku menjawab, "Ya," Lalu Beliau memberikan seember air kepadaku dan aku meminumnya sampai puas. Rasulullah berkata lagi, "Kalau kau mau bebas niscaya engkau akan bebas, dan kalau kau mau makan bersama kami mari ikut kami, Kemudian aku memilih makan bersama mereka," Pada hari itu juga, `Utsman terbunuh.

Menurut Jalaluddin al-Suyuthi, kisah ini adalah kisah masyhur yang diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis dengan beberapa sanad berbeda, termasuk jalur sanad Harits bin Abi Usamah. Menurut Ibnu Bathis, apa yang dialami 'Utsman adalah mimpi pada saat terjaga sehingga bisa dianggap karamah. Karena semua orang bisa bermimpi ketika tidur, maka mimpi ketika tidur tidak termasuk kejadian luar biasa yang bisa dianggap sebagai karamah. Hal ini disepakati oleh orang yang mengingkari karamah para wali. (Dikutip dalam Tabaqat al-Munawi dari kitab Itsbat al-Karamah karya Ibnu Bathis)


Sumber : Klik Disini

Copyright 2010 anti trust
Lunax Free Premium Blogger™ template by Introblogger