Abu Ubaidah Bin Jarrah


Abu Ubaidah Amir bin Abdullah bin Al Jarrah bin Hilal bin Uhaib bin Dhabbah bin Al Harits bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah, termasuk orang yang pertama masuk Islam, beliau memeluk Islam selang sehari setelah Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq memeluk Islam. Beliau masuk Islam bersama Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Mazun dan Arqam bin Abu al-Arqam, di tangan Abu Bakar as Shiddiq. Sayyidina Abu Bakar yang membawakan mereka menemui Rasulullah SAW untuk menyatakan syahadat di hadapan Baginda. Kualitasnya dapat kita ketahui melalui sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya setiap umat mempunyai orang kepercayaan, dan kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah,”

Abu Ubaidah bin Jarrah  lahir di Mekkah, di sebuah rumah keluarga suku Quraisy terhormat. Nama lengkapnya adalah Amir bin Abdullah bin Jarrah yang dijuluki dengan nama Abu Ubaidah. Abu Ubaidah adalah seorang yang berperawakan tinggi, kurus, berwibawa, bermuka ceria, rendah diri dan sangat pemalu. Beliau termasuk orang yang berani ketika dalam kesulitan, beliau disenangi oleh semua orang yang melihatnya, siapa yang mengikutinya akan merasa tenang. Wajahnya mudah sekali berkeringat, kedua gigi serinya tanggal, dan tipis rambut jenggotnya. Dia memiliki dua orang anak yang bernama Yazid dan Umair. Kedua anak itu merupakan buah hatinya dengan sang istri yang bernama Hindun bin Jabir. Namun, keduanya telah meninggal dunia sehingga dia tidak lagi memiliki keturunan.
Kehidupan beliau tidak jauh berbeda dengan kebanyakan sahabat lainnya, diisi dengan pengorbanan dan perjuangan menegakkan Agama Islam. Hal itu tampak ketika beliau harus hijrah ke Ethiopia (Habasyi) pada gelombang kedua demi menyelamatkan aqidahnya. Namun kemudian beliau kembali lagi untuk menyertai perjuangan Rasulullah SAW.
Abu Ubaidah bin Jarrah juga  ikut berperang bersama Rasulullah SAW, beliau sangat terkenal dengan kepahlawanan dan pengorbanan, saat perang Badar berkecamuk, Abu Ubaidah bin Jarrah melihat bapaknya berada ditengah kaum musyrikin maka dia pun menghindar darinya, namun bapaknya berusaha ingin membunuh anaknya. Maka tidak ada jalan lain untuk menghindar baginya kecuali melawannya, dan bertemulah dua pedang  yang saling berbenturan dan pada akhirnya orang tua yang musyrik mati di tangan anaknya yang lebih cinta kepada Allah dan Rasul-Nya daripada orang tuanya hingga turunlah ayat,
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkannya mereka kedalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah  yang beruntung,” (QS. Al-Mujadilah : 22)
Ketika dalam perang Uhud, pasukan muslimin kucar kacir dan banyak yang lari meninggalkan pertempuran, justru Abu Ubaidah bin Jarrah berlari untuk mendapati Nabi-nya tanpa takut sedikit pun terhadap banyaknya lawan dan rintangan. Demi didapati pipi Nabi terluka, yaitu terhujamnya dua rantai besi penutup kepala beliau, segera ia berusaha untuk mencabut rantai tersebut dari pipi Nabi SAW.
Abu Ubaidah bin Jarrah mulai mencabut rantai tersebut dengan gigitan giginya. Rantai itu pun akhirnya terlepas dari pipi Rasulullah SAW. Namun bersamaan dengan itu pula gigi seri Abu Ubaidah bin Jarrah ikut terlepas dari tempatnya. Abu Ubaidah bin Jarrah tidak jera. Diulanginya sekali lagi untuk mengigit rantai besi satunya yang masih menancap di pipi Rasulullah SAW hingga terlepas. Dan kali ini pun harus juga diikuti dengan lepasnya gigi Abu Ubaidah bin Jarrah, sehingga dua gigi seri sahabat ini ompong karenanya. Sungguh, satu keberanian dan pengorbanan yang tak tergambarkan.
Rasulullah SAW memberinya gelar “Gagah dan Jujur”. Suatu ketika datang sebuah delegasi dari kaum Nasrani menemui Rasulullah SAW. Mereka mengatakan, “Ya Abul Qassim! Kirimkanlah bersama kami seorang sahabatmu yang engkau percayai untuk menyelesaikan perkara kebendaan yang sedang kami pertengkarkan, karena kaum muslimin di pandangan kami adalah orang yang disenangi,”
Rasulullah SAW bersabda kepada mereka, “Datanglah ke sini nanti sore, saya akan kirimkan bersama kamu seorang yang gagah dan jujur,”
Dalam kaitan ini, Sayyidina Umar bin Khattab mengatakan, “Saya berangkat ingin shalat Zuhur agak cepat, sama sekali bukan karena ingin ditunjuk sebagai delegasi, tetapi karena memang saya senang pergi shalat cepat-cepat. Setelah Rasulullah selesai mengimami shalat Zuhur bersama kami, beliau melihat ke kiri dan ke kanan. Saya sengaja meninggikan kepala saya agar beliau melihat saya, namun beliau masih terus membalik-balik pandangannya kepada kami. Akhirnya beliau melihat Abu Ubaidah bin Jarrah, lalu beliau memanggilnya sambil bersabda, "Pergilah bersama mereka, selesaikanlah kasus yang menjadi perselisihan di antara mereka dengan adil,"
lalu Abu Ubaidah bin Jarrah pun berangkat bersama mereka.




Gubernur Yang Zuhud


Di masa pemerintahan Abu Bakar As Siddiq sebagi Khalifah, Abu Ubaidah bin Jarrah dipercaya sebagai Ketua Pengawas Perbendaharaan Negara. Abu Bakar Ash Siddiq kemudian mengangkatnya menjadi Gubernur Syam. Jabatan ini diemban Abu Ubaidah bin Jarrah hingga di masa pemerintahan Umar bin Khattab. Tak lama kemudian Umar bin Khattab mengangkat Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai Panglima Perang menggantikan Khalid bin Walid.
Suatu ketika, ketika di masa pemerintahan Abu Ubaidah bin Jarrah, Syam dikepung musuh. Umar bin Khattab berkirim surat kepada Abu Ubaidah bin Jarrah. Isinya, “Sesungguhnya tidak akan pernah ada seorang mukmin yang dibiarkan Allah dalam suatu penderitaan melainkan Dia akan melapangkan jalannya, hingga kesulitan akan dibalasnya dengan kemudahan,”
Surat itu dibalas oleh Abu Ubadah bin Jarrah dengan kalimat, “Sesungguhnya Allah SWT telah berfirman: Ketahuilah bahwasanya kehidupan dunia ini hanyalah main-main dan senda gurau, bermewah-mewah, dan saling membanggakan kekayaan dan anak pinak di antaramu, ibarat hujan (menyirami bumi), tumbuh-tumbuhan (menjadi subur menghijau), mengagumkan para petani. Lalu tanaman itu mengering, tampak menguning, kemudian menjadi rapuh dan hancur. Sedang di akhirat kelak, ada azab yang berat (bagi mereka yang menyenangi kemewahan dunia) namun ada pula ampunan dan keridhaan Allah (bagi yang mau bertobat). Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu belaka,” (Al-Haddid: 20)


Surat balasan Abu Ubaidah bin Jarrah ini oleh Umar bin Khattab dibacakan di depan kaum Muslimin seusai melaksanakan shalat berjamah.
“Wahai penduduk Madinah, sesungguhnya Abu Ubaidah mengharapkan aku dan kalian semua suka berjihad,” kata Umar bin Khattab.
Memang Abu Ubaidah bin Jarrah dikenal orang di zamannya sebagai orang yang zuhud. Umar bin Khattab pernah berkunjung ke Syam ketika Abu Ubaidah bin Jarrah menjabat sebagai gubernur. “Abu Ubaidah, bolehkah aku datang ke rumahmu?” tanya Umar bin Khattab. Jawab Abu Ubaidah bin Jarrah, “Untuk apakah kau datang ke rumahku? Sesungguhnya aku takut kau tak kuasa menahan air matamu begitu mengetahui keadaanku nanti,”
Namun Umar bin Khattab memaksa. Akhirnya Abu Ubaidah bin Jarrah mengizinkan Umar bin Khattab berkunjung ke rumahnya. Sungguh Umar bin Khattab terkejut. Ia mendapati rumah Sang Gubernur Syam kosong melompong. Tidak ada perabotan sama sekali.
Umar bin Khattab bertanya, “Hai Abu Ubaidah, dimanakah penghidupanmu? Mengapa aku tidak melihat apa-apa selain sepotong kain lusuh dan sebuah piring besar itu, padahal kau seorang gubernur?”
“Adakah kau memiliki makanan?” tanya Umar bin Khattab lagi. Abu Ubaidah bin Jarrah kemudian berdiri dari duduknya menuju ke sebuah ranjang dan memungut arang yang di dalamnya.
Umar bin Khattab pun meneteskan air mata melihat kondisi gubernurnya seperti itu. Abu Ubaidah bin Jarrah pun berujar, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah sudah kukatakan tadi bahwa kau ke sini hanya untuk menangis?” Umar berkata, “Ya Abu Ubaidah, banyak sekali di antara kita orang-orang yang tertipu oleh godaan dunia,”
Suatu ketika Umar bin Khattab mengirimi uang kepada Abu Ubaidah bin Jarrah sejumlah empat ribu dinar. Orang yang diutus Umar melaporkan kepadanya, “Abu Ubaidah membagi-bagi kirimanmu,” Umar bin Khattab berujar, “Alhamdulillah, puji syukur kepada-Nya yang telah menjadikan seseorang dalam Islam yang memiliki sifat seperti dia,”



Makam Abu Ubaidah bin Jarrah


Wafatnya Abu Ubaidah bin Jarrah


Pada tahun 18 Hijriyah, Umar bin Khattab mengirim bala tentara ke Jordania yang dipimpin oleh Abu Ubaidah bin Jarrah, kemudian tentara tersebut tinggal di ‘Amwas, Jordan, hingga terjangkit penyakit kusta saat bala tentara tinggal di sana. Ketika Umar bin Khattab mendengar hal demikian, beliau menulis surat kepada Abu Ubaidah bin Jarrah yang isinya : "Sungguh, saya memiliki sesuatu yang sangat penting dan saya membutuhkanmu, maka segeralah menghadap saya. Setelah Abu Ubaidah membaca surat itu, beliau menyadari bahwa yang diinginkan dari Umar bin Khattab menyelamatkan nyawanya dari penyakit kusta tersebut, maka baliau mengingatkan Umar bin Khattab dengan sabda Rasulullah SAW : “Penyakit kusta merupakan bagian dari syahadah bagi kaum Muslimin,”. (Muttafaqun ‘alaih). Lalu beliau menulis surat balasan dan berkata di dalamnya, sesungguhnya saya sudah mengetahui kebutuhanmu, maka saya telah mencari solusi dari kehendakmu itu, sesungguhnya saya seorang prajurit dari pasukan kaum muslimin, saya tidak sudi berpisah dengan mereka. Maka ketika Umar bin Khattab membaca surat beliau langsung menangis, dan dikatakan kepadanya, "Apakah Abu Ubaidah telah meninggal?" beliau berkata, “Tidak, tapi seakan-akan dia sudah meninggal," (Al-Hakim)
Kemudian Amirul mukminin kembali menulis surat untuknya dan memerintahkannya untuk pergi meninggalkan kota ‘Amwas ke tempat yang disebut Al-Jabiyah, hingga semua pasukan tidak meninggal karenanya, lalu Abu Ubaidah pun mengikuti perintah Amirul mukminin, namun beliau tetap terserang penyakit kusta. Kemudian beliau mewasiatkan kepada Mu’adz bin Jabal untuk memimpin pasukan, dan setelah itu beliau wafat sedang umurnya 58 tahun, beliau dishalatkan oleh Mu’adz bin Jabal, dan dikebumikan di desa Baisan, Syam. Abu Ubaidah meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW sebanyak 14 hadits.




Kisah Lain


Siapakah kiranya orang yang dipegang oleh Rasulullah SAW dengan tangan kanannya sambil bersabda, “Sesungguhnya setiap ummat mempunyai orang kepercayaan, dan sesungguhnya kepercayaan ummat ini adalah Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah,” 


Siapakah orang yang dikirim oleh Nabi ke medan tempur Dzatus Salasil sebagai bantuan bagi Amar bin ‘Ash, dan diangkatnya sebagai panglima dari suatu pasukan yang di dalamnya terdapat Abu Bakar dan Umar?


Siapakah sahabat yang mula pertama disebut sebagai Amirul Umara atau panglima besar ini?


Dan siapakah orang yang tinggi perawakannya tetapi kurus tubuhnya, tipis jenggotnya, berwibawa wajahnya, dan ompong karena patah dua gigi mukanya?


Yah, siapakah kiranya orang kuat lagi terpercaya, sehingga Umar bin Khattab ketika hendak menghembuskan nafasnya yang terakhir pernah berkata mengenai pribadinya, “Seandainya Abu ‘Ubadah ibnul Jarrah masih hidup, tentulah ia di antara orang-orang yang akan saya angkat sebagai penggantiku. Dan jika Tuhanku menanyakan hal itu tentulah, “Saya angkat kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-Nya,” 


Ia adalah Abu ‘Ubaidah, Amir bin Abdillah ibnul Jarrah. Ia masuk Islam melalui Abu Bakar Shiddiq di awal mula kerasulan, yakni sebelum Rasulullah SAW mengambil rumah Arqam sebagai tempat da’wah. Ia ikut hijrah ke Habsy pada kali kedua. Ia kembali pulang agar dapat mendampingi Rasulullah di perang Badar, perang Uhud, dan pertempuran-pertempuran lainnya. Lalu sepeninggal Rasulullah, dilanjutkannya gaya hidupnya sebagai seorang kuat yang dipercaya mendampingi Abu Bakar dan kemudian Umar dalam pemerintahan masing-masing dengan mengesampingkan dunia kemewahan dalam menghadapi tanggung jawab keagamaan, baik dalam zuhud dan ketaqwaan, amanah dan keteguhan.


Ketika Abu ‘Ubaidah bai’at atau sumpah setia kepada Rasulullah SAW akan membangkitkan hidupnya di jalan Allah, ia menyadari sepenuhnya makna kata-kata yang tiga ini: berjuang di jalan Allah, dan telah memiliki persiapan sempurna untuk menyerahkan kepadanya apa saja yang diperlukan berupa darma bakti dan pengorbanan.


Semenjak ia mengulurkan tangannya untuk bai’at kepada Rasulullah, ia tidak memperhatikan kepentingan pribadi dan masa depannya. Seluruh kehidupannya dihabiskan dalam mengemban amanat yang dititipkan Allah kepadanya dan dibaktikan pada jalan-Nya demi mencapai keridhaan-Nya. Tiada suatu pun yang dikejar untuk kepentingan dirinya pribadi, dan tiada satu keinginan atau kebencian pun yang dapat menyelewengkannya dari jalan Allah itu.


Maka tatkala Abu ‘Ubaidah telah menepati janji yang dilakukan oleh para sahabat lainnya, dilihat pula oleh Rasulullah sikap jiwa dan tata cara kehidupannya yang menyebabkannya layak untuk menerima gelar mulia yang diserahkan serta dihadiahkan Rauslullah kepadanya, dengan sabdanya: “Orang kepercayaan ummat ini, Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah,”


Amanat atau kepercayaan yang dipenuhi oleh Abu ‘Ubaidah atas segala tanggung jawabnya, merupakan sifatnya yang paling menonjol. Umpamanya waktu perang Uhud, dari gerak-gerik dan jalan pertempuran, diketahuinya bahwa tujuan utama dari orang-oarng musyrik itu adalah bukanlah hendak merebut kemenangan, tetapi untuk menghabisi riwayat Nabi Besar dan merenggut nyawanya. Ia berjanji kepada dirinya untuk selalu dekat dengan Rasulullah di arena perjuangan itu.


Maka dengan pedangnya yang terpercaya seperti dirinya pula, ia maju ke muka, merambah dan mendesak tentara berhala yang hendak melampiaskan maksud jahat mereka untuk memadamkan nur Ilahi. Setiap suasana medan pertempuran memaksanya terpisah jauh dari Rasulullah SAW, ia tetap bertempur tanpa melepaskan pandangan matanya dari kedudukan Rasulullah itu yang selalu diikutinya dengan hati cemas dan jiwa gelisah. Jika dilihatnya ada bahaya yang mengancam Nabi, maka ia bagaikan disentakan dari tempatnya lalu melompat menerkam musuh-musuh Allah dan menghalau mereka ke belakang sebelum mereka sempat mencelakakannya.


Suatu ketika pertempuran berkecamuk dengan hebatnya, ia terpisah dari Nabi karena terkepung oleh tentara musuh; tetapi seperti biasa kedua matanya bagai mata elang mengintai keadaan sekitarnya. Hampir saja ia gelap mata, melihat sebuah anak panah meluncur dari tangan seorang musyrik lalu mengenai Nabi. Terlihatlah pedangnya yang sebilah itu berkelibatan, tak ubah bagai seratus bilah pedang menghantam musuh yang mengepungnya hingga mencerai-beraikan mereka, lalu ia terbang mendapatkan Rasulullah. Didapatinya darah beliau yang suci mengalir dari mukanya, dan dilihatnya Rasulullah Al-Amin, menghapus darah dengan tangan kanannya, sambil bersabda:
“Bagaimana mungkin berbahagia suatu kaum yang mencemari wajah Nabi mereka, padahal ia menyerunya kepada Nabi mereka, padahal ia menyerunya kepada Tuhan mereka,”


Abu ‘Ubaidah melihat dua buah mata rantai baju besi penutup kepala Rasulullah menancap di kedua belah pipinya. Abu ‘Ubaidah tak dapat manahan hatinya lagi; ia segera menggigit salah satu mata rantai itu dengan gigi manisnya lalu menariknya dengan kuat dari pipi Rasulullah hingga tercabut keluar, tetapi bersamaan dengan itu, tercabut pula sebuah gigi manis Abu ‘Ubaidah, lalu ditariknya mata rantai yang kedua dan tercabut pulalah gigi manis Abu ‘Ubaidah yang kedua. Dan baiklah kita serahkan kepada Abu Bakar Shiddiq untuk menceritakan persitiwa itu;


“Di waktu perang Uhud dan Rasulullah SAW ditimpa anak panah hingga dua buah rantai ketopong masuk ke dua belah pipinya bagian atas, saya segera berlari mendapatkan Rasulullah SAW kiranya ada seorang yang datang bagaikan terbang dari jurusan timur, maka kataku: ‘Ya Allah, moga-moga itu merupakan pertolongan!’ Dan kala kami sampai pada Rasulullah, kiranya orang itu adalah Abu ‘Ubaidah yang telah mendahuluinya ke sana, serta katanya, “Atas nama Allah, saya minta kepada anda wahai Abu Bakar, agar saya dibiarkan mencabutnya dari pipi Rasulullah SAW,” Saya pun membiarkanya, maka dengan gigi mukanya Abu ‘Ubaidah mencabut salah satu mata rantai baju besi penutup kepala beliau hingga ia terjatuh ke tanah, dan bersamaan dengan itu jatuhlah pula sebuah gigi manis Abu ‘Ubaidah. Kemudian ditariknya pula mata rantai yang kedua dengan giginya yang lain hingga sama tercabut, menyebabkan Abu ‘Ubaidah tampak di hadapan orang banyak bergigi ompong,”


Di saat-saat bertambah besar dan meluasnya tanggung jawab para sahabat, maka amanah dan kejujuran Abu ‘Ubaidah meningkatlah pula. Tat kala ia dikirim oleh Nabi SAW dalam ekspedisi Daun Khabath dengan memimpin lebih dari tiga ratus orang prajurit sedang berbekalan mereka tidak lebih dari sebakul kurma, sementara tugas sulit dan jarak yang akan ditempuh jauh pula, Abu ‘Ubaidah menerima perintah itu dengan taat dan hati gembira. Bersama anak buahnya pergilah ia ke tempat yang dituju, dan berbekal-lah setiap prajurit setiap harinya hanyalah segenggam kurma. Ketika perbekalan hampir habis, maka bagian masing-maisng prajurit hanyalah sebuah kurma untuk sehari. Tat kala habis sama sekali, mereka mulai mencari daun kayu yang disebut khabath, lalu mereka tumbuk hingga halus seperti tepung dengan menggunkan alat senjata. Di samping daun-daun itu dijadikan sebagai makanan, dapat pula mereka gunakan sebagai wadah untuk air minum. Itulah sebabnya ekspedisi ini disebut ekspedisi “Daun Khabath”.


Mereka terus maju tanpa menghiraukan lapar dan dahaga, dan tak ada tujuan mereka kecuali menyelesaikan tugas mulia bersama panglima mereka yang kuat lagi terpercaya.


Rasulullah amat sayang kepada Abu ‘Ubaidah sebagai orang kepercayaan ummat, dan beliau sangat terkesan kepadanya. Tatkala datang perutusan Najran dari Yaman menyatakan keislaman mereka dan meminta kepada Nabi agar dikirim bersama mereka seorang guru untuk mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta seluk beluk agama Islam, maka ujar beliau : “Baiklah, akan saya kirim bersama Tuan-Tuan seorang yang terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya,”


Para sahabat mendengar pujian yang keluar dari mulut Rasulullah SAW ini, dan masing-masing berharap agar pilihan agar jatuh kepada dirinya, hingga beruntung beroleh pengakuan dan kesaksian yang tak dapat diragukan lagi kebenarannya.


Umar bin khattab menceritakan peristiwa itu sebagai berikut:
“Aku tak pernah berangan-angan menjadi amir, tetapi ketika itu aku tertarik oleh ucapan beliau dan mengharapkan yang dimaksud beliau itu adalah aku. Aku cepat-cepat berangkat untuk shalat dzuhur. Dan tatkala Rasulullah selesai mengimami kami shalat dzuhur, beliau memberi salam, lalu menoleh ke sebelah kanan dan kiri. Maka saya pun mengulurkan badan agar kelihatan oleh beliau. Tetapi ia juga masih melayangkan pandangannya mencari-cari, hingga akhirnya tampaklah Abu ‘Ubaidah, maka dipanggilnya, lalu sabdanya: Pergilah berangkat bersama mereka dan selesaikanlah apabila terjadi perselisihan di antara mereka dengan haq,”


Maka Abu ‘Ubaidah berangkatlah bersama orang-orang itu.


Dengan peristiwa ini, tentu saja tidak berarti bahwa Abu ‘Ubaidah merupakan satu-satunya yang mendapat kepercayaan dan tugas dari Rasulullah, sedang lainnya tidak. Maksudnya ialah bahwa ia adalah salah seorang yang beruntung beroleh kepercayaan yang berharga serta tugas mulia ini. Di samping itu, ia adalah salah seorang, mungkin juga satu-satunya orang pada masa itu, yang berprofesi da’i.


Sebagaimana Abu Ubaidah menjadi seorang kepercayaan di masa Rasulullah SAW , demikian pula setelah Rasulullah wafat, ia tetap sebagai orang kepercayaan; memikul semua tanggung jawab dengan sifat amanah. Wajarlah apabila ia menjadi suri teladan bagi seluruh ummat manusia.


Di bawah panji-panji Islam, kemana pun ia pergi, ia adalah seorang prajurit yang dengan keutamaan dan keberaniannya melebihi seorang amir atau panglima; dan disaat ia sebagai panglima, karena keikhlasan dan kerendahan hatinya, menyebabkan tidak lebih dari seorang prajurit biasa.


Kemudian, tatkala Khalid bin Walid sedang memimpin tentara Islam dalam salah satu pertempuran terbesar yang menentukan, tiba-tiba amirul mu’minin Umra memaklumkan titahnya untuk mengangkat Abu ‘Ubaidah sebagai pengganti Khalid, maka demi diterimanya berita itu, dari utusan khalifah, dimintanya orang itu untuk merahasiakan berita tersebut kepada umum. Sementara, Abu ‘Ubaidah sendiri mendiamkannya dengan suatu niat dan tujuan baik sebagai lazimnya dimiliki seorang zuhud, arif, bijaksana, lagi dipercaya, menunggu selesainya panglima Khalid itu merebut kemenangan besar.


Setelah kemenangan tercapai, barulah ia mendapatkan Khlaid dengan hormat dan ta’dhimnya untuk menyerahkan surat dari amirul mu’minin. Ketika Khalid bertanya kepadanya, “Semoga Allah memberimu rahmat wahai Abu ‘Ubaidah! Apa sebabnya anda tidak menyampaikannya kepadaku di waktu datangnya?” Maka ujar kepercayaan ummat itu, “Saya tidak ingin mematahkan ujung tombak anda, dan bukan kekuasaan dunia yang kita tuju, dan bukan pula untuk dunia kita beramal. Kita semua bersaudara karena Allah,”


Demikianlah, Abu ‘Ubaidah telah menjadi panglima besar di Syria Di bawah kekuasaanya, bernaung sebagian besar tentara Islam, baik dalam luas wilayahnya, maupun dalam perbekalan dan jumlah bilangannya. Tetapi bila anda melihatnya, maka sangka anda bahwa ia adalah salah seorang prajurit biasa serta pribadi biasa dari kaum muslimin.


Ketika sampai kepadanya perbincangan orang-orang Syria tentang dirinya dan ketakjuban mereka terhadap sebutan panglima besar, dikumpulkannya mereka lalu ia berdiri menyampaikan pidato.


Nah, cobalah anda sekalian perhatikan apa yang diucapkannya kepada orang-orang yang terpesona dengan kekuatan, kebesaran dan sifat amanahnya, “Hai ummat manusia..Sesungguhnya saya ini adalah seorang muslim dari suku Quraisy. Dan siapa saja diantara kalian, baik ia berkulit merah atau hitam yang lebih takwa dari padaku, hatiku ingin sekali berada dalam bimbingannya!”
"Semoga Allah melanjutkan kebahagiaanmu, wahai Abu ‘Ubaidah. Dan mengekalkan agama yang telah mendidikmu, serta Rasulullah yang telah mengajarimu,"


Kedudukannya sebagai panglima besar, dan pemimpin tentara Islam yang paling banyak jumlahnya dan paling menonjol keperwiraannya serta paling besar kemenangannya, begitu pun sebagai wali negeri di wilayah Syria yang semua kehendakanya berlaku dan perintahnya ditaati, maka semua itu dan lainnya yang serupa, tidak menggoyahkan ketakwaanya sedikit pun, dan tidak dijadikan andalan.


Amirul Mu’minin Umar bin Khattab datang berkunjung ke Syria, kepada para penyambutnya ditanyakannya:
“Mana saudara saya?”
“Siapa?” ujar mereka.
“Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah,” katanya pula.


Kemudian datanglah Abu ‘Ubaidah yang kemudian dipeluk oleh Amirul Mu’minin, lalu mereka pergi bersama-sama ke rumahnya. Maka tidak satu pun perabot rumah tangga terdapat di rumah itu, kecuali pedang, tameng serta pelana kendarannya.


Sambil tersenyum, Umar bertanya kepadanya, “Kenapa tidak kau ambil untuk dirimu sebagaimana dilakukan oleh orang lain?” Maka jawab Abu ‘Ubaidah, “Wahai Amirul Mu’minin, ini menyebabkan hatiku lega dan sempat beristirahat,”


Pada suatu hari di Madinah, tatkala Amirul Mu’minin Umar bin Khattab sibuk menangani dunia Islam yang luas, disampaikan orang berita berkabung meninggalnya Abu ‘Ubaidah.


Maka terpejamlah kedua pelupuk matanya yang telah digenangi air. Dan air itu pun meleleh, hingga Amirul Mu’minin membuka matanya dengan tawakkal menyerahkan diri. Dimohonkannya rahmat bagi sahabatnya itu, dan bangkitlah kanangan-kenangan lamanya bersama Almarhum RA yang ditampungnya dengan hati sabar diliputi duka. Kemudian diulangi kembali ucapan berkenaan sahabatnya itu, katanya:


“Seandainya aku bercita-cita, maka tak adalah harapanku selain sebuah rumah yang penuh didiami oleh tokoh-tokoh seperti Abu ‘Ubaidah,”


Orang kepercayan dari ummat ini wafat di atas bumi yang telah disucikannya dari keberhalaan Persi dan penindasan Romawi. Dan di sana sekarang ini, yaitu dalam pangkuan tanah Yordania, bermukim tulang kerangka yang mulia, yang dulunya tempat bersemayam jiwa yang tenteram dan ruh pilihan.


Meskipun makamnya sekarang ini dikenal orang atau tidak, sama saja halnya bagi dia atau bagi anda, karena seandainya anda bermaksud hendak mencapainya, anda tidak memerlukan petunjuk jalan, karena jasa-jasanya yang tidak terkira akan menuntun anda ke tempatnya itu.




Sumber : Klik Disini

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright 2010 anti trust
Lunax Free Premium Blogger™ template by Introblogger