Browse » Home » Archives for 30 Januari 2011
Umar bin Khattab |
“Duduklah dengan orang-orang yang bertaubat, sesungguhnya mereka menjadikan segala sesuatu lebih berfaedah,” (Tahfdzib Hilyatul Auliya I/71) Sayyidina Umar bin Khattab RA
“Kalau sekiranya kesabaran dan syukur itu dua kendaraan, aku tak tahu mana yang harus aku kendarai,” (Al Bayan wa At Tabyin III/ 126) Sayyidina Umar bin Khattab RA
“Sesungguhnya kita adalah kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam, maka janganlah kita mencari kemuliaan dengan selainnya,” (Ihya’ Ulumuddin 4/203) Sayyidina Umar bin Khattab RA
“Hendaklah kalian menghisab diri kalian pada hari ini, karena hal itu akan meringankanmu di hari perhitungan,” (Shifatush Shafwah, I/286) Sayyidina Umar bin Khattab RA
"Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar," Sayyidina Umar bin Khattab RA
"Orang yang paling aku sukai adalah dia yang menunjukkan kesalahanku," Sayyidina Umar bin Khattab RA
"Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah. Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rizki yang lebih baik daripada sabar," Sayyidina Umar bin Khattab RA
"Barangsiapa takut kepada Allah SWT nescaya tidak akan dapat dilihat kemarahannya. Dan barangsiapa takut pada Allah, tidak sia-sia apa yang dia kehendaki," Sayyidina Umar bin Khattab RA
"Orang yang banyak ketawa itu kurang wibawanya. Orang yang suka menghina orang lain, dia juga akan dihina. Orang yang mencintai akhirat, dunia pasti menyertainya," Sayyidina Umar bin Khattab RA
"Barangsiapa menjaga kehormatan orang lain, pasti kehormatan dirinya akan terjaga," Sayyidina Umar bin Khattab RA
"Manusia yang berakal ialah manusia yang suka menerima dan meminta nasihat," Sayyidina Umar bin Khattab RA
"Barangsiapa yang jernih hatinya, akan diperbaiki Allah pula pada yang nyata di wajahnya," Sayyidina Umar bin Khattab RA
"Barangsiapa menempatkan dirinya di tempat yang dapat menimbulkan persangkaan, maka janganlah menyesal kalau orang menyangka buruk kepadanya," Sayyidina Umar bin Khattab RA
"Kebajikan yang ringan adalah menunjukkan muka berseri-seri dan mengucapkan kata-kata lemah-lembut," Sayyidina Umar bin Khattab RA
"Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar," Sayyidina Umar bin Khattab RA
"Didiklah anak-anakmu itu berlainan dengan keadaan kamu sekarang karena mereka telah dijadikan Tuhan untuk zaman yang bukan zaman engkau," Sayyidina Umar bin Khattab RA
Browse » Home » Archives for 30 Januari 2011
Abu Ubaidah Bin Jarrah |
Abu Ubaidah Amir bin Abdullah bin Al Jarrah bin Hilal bin Uhaib bin Dhabbah bin Al Harits bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah, termasuk orang yang pertama masuk Islam, beliau memeluk Islam selang sehari setelah Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq memeluk Islam. Beliau masuk Islam bersama Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Mazun dan Arqam bin Abu al-Arqam, di tangan Abu Bakar as Shiddiq. Sayyidina Abu Bakar yang membawakan mereka menemui Rasulullah SAW untuk menyatakan syahadat di hadapan Baginda. Kualitasnya dapat kita ketahui melalui sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya setiap umat mempunyai orang kepercayaan, dan kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah,”
Abu Ubaidah bin Jarrah
lahir di Mekkah, di sebuah rumah keluarga suku Quraisy terhormat. Nama
lengkapnya adalah Amir bin Abdullah bin Jarrah yang dijuluki dengan
nama Abu Ubaidah. Abu Ubaidah adalah seorang yang berperawakan tinggi,
kurus, berwibawa, bermuka ceria, rendah diri dan sangat pemalu. Beliau
termasuk orang yang berani ketika dalam kesulitan, beliau disenangi
oleh semua orang yang melihatnya, siapa yang mengikutinya akan merasa
tenang. Wajahnya mudah sekali berkeringat, kedua gigi serinya tanggal,
dan tipis rambut jenggotnya. Dia memiliki dua orang anak yang bernama
Yazid dan Umair. Kedua anak itu merupakan buah hatinya dengan sang
istri yang bernama Hindun bin Jabir. Namun, keduanya telah meninggal
dunia sehingga dia tidak lagi memiliki keturunan.
Kehidupan
beliau tidak jauh berbeda dengan kebanyakan sahabat lainnya, diisi
dengan pengorbanan dan perjuangan menegakkan Agama Islam. Hal itu
tampak ketika beliau harus hijrah ke Ethiopia (Habasyi) pada gelombang
kedua demi menyelamatkan aqidahnya. Namun kemudian beliau kembali lagi
untuk menyertai perjuangan Rasulullah SAW.
Abu Ubaidah bin Jarrah
juga ikut berperang bersama Rasulullah SAW, beliau sangat terkenal
dengan kepahlawanan dan pengorbanan, saat perang Badar berkecamuk, Abu
Ubaidah bin Jarrah melihat bapaknya berada ditengah kaum musyrikin maka
dia pun menghindar darinya, namun bapaknya berusaha ingin membunuh
anaknya. Maka tidak ada jalan lain untuk menghindar baginya kecuali
melawannya, dan bertemulah dua pedang yang saling berbenturan dan pada
akhirnya orang tua yang musyrik mati di tangan anaknya yang lebih cinta
kepada Allah dan Rasul-Nya daripada orang tuanya hingga turunlah ayat,
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkannya mereka kedalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah yang beruntung,” (QS. Al-Mujadilah : 22)
Ketika
dalam perang Uhud, pasukan muslimin kucar kacir dan banyak yang lari
meninggalkan pertempuran, justru Abu Ubaidah bin Jarrah berlari untuk
mendapati Nabi-nya tanpa takut sedikit pun terhadap banyaknya lawan dan
rintangan. Demi didapati pipi Nabi terluka, yaitu terhujamnya dua
rantai besi penutup kepala beliau, segera ia berusaha untuk mencabut
rantai tersebut dari pipi Nabi SAW.
Abu Ubaidah bin Jarrah mulai
mencabut rantai tersebut dengan gigitan giginya. Rantai itu pun
akhirnya terlepas dari pipi Rasulullah SAW. Namun bersamaan dengan itu
pula gigi seri Abu Ubaidah bin Jarrah ikut terlepas dari tempatnya. Abu
Ubaidah bin Jarrah tidak jera. Diulanginya sekali lagi untuk mengigit
rantai besi satunya yang masih menancap di pipi Rasulullah SAW hingga
terlepas. Dan kali ini pun harus juga diikuti dengan lepasnya gigi Abu
Ubaidah bin Jarrah, sehingga dua gigi seri sahabat ini ompong
karenanya. Sungguh, satu keberanian dan pengorbanan yang tak
tergambarkan.
Rasulullah SAW memberinya gelar “Gagah dan Jujur”.
Suatu ketika datang sebuah delegasi dari kaum Nasrani menemui
Rasulullah SAW. Mereka mengatakan, “Ya Abul Qassim! Kirimkanlah bersama
kami seorang sahabatmu yang engkau percayai untuk menyelesaikan perkara
kebendaan yang sedang kami pertengkarkan, karena kaum muslimin di
pandangan kami adalah orang yang disenangi,”
Rasulullah SAW bersabda kepada mereka, “Datanglah ke sini nanti sore, saya akan kirimkan bersama kamu seorang yang gagah dan jujur,”
Rasulullah SAW bersabda kepada mereka, “Datanglah ke sini nanti sore, saya akan kirimkan bersama kamu seorang yang gagah dan jujur,”
Dalam kaitan ini, Sayyidina Umar bin Khattab mengatakan,
“Saya berangkat ingin shalat Zuhur agak cepat, sama sekali bukan karena
ingin ditunjuk sebagai delegasi, tetapi karena memang saya senang pergi
shalat cepat-cepat. Setelah Rasulullah selesai mengimami shalat Zuhur
bersama kami, beliau melihat ke kiri dan ke kanan. Saya sengaja
meninggikan kepala saya agar beliau melihat saya, namun beliau masih
terus membalik-balik pandangannya kepada kami. Akhirnya beliau melihat
Abu Ubaidah bin Jarrah, lalu beliau memanggilnya sambil bersabda, "Pergilah
bersama mereka, selesaikanlah kasus yang menjadi perselisihan di antara
mereka dengan adil,"
lalu Abu Ubaidah bin Jarrah pun berangkat bersama mereka.
Gubernur Yang Zuhud
Di masa pemerintahan Abu Bakar As Siddiq sebagi Khalifah, Abu Ubaidah bin Jarrah dipercaya sebagai Ketua Pengawas Perbendaharaan Negara. Abu Bakar Ash Siddiq kemudian mengangkatnya menjadi Gubernur Syam. Jabatan ini diemban Abu Ubaidah bin Jarrah hingga di masa pemerintahan Umar bin Khattab. Tak lama kemudian Umar bin Khattab mengangkat Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai Panglima Perang menggantikan Khalid bin Walid.
Gubernur Yang Zuhud
Di masa pemerintahan Abu Bakar As Siddiq sebagi Khalifah, Abu Ubaidah bin Jarrah dipercaya sebagai Ketua Pengawas Perbendaharaan Negara. Abu Bakar Ash Siddiq kemudian mengangkatnya menjadi Gubernur Syam. Jabatan ini diemban Abu Ubaidah bin Jarrah hingga di masa pemerintahan Umar bin Khattab. Tak lama kemudian Umar bin Khattab mengangkat Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai Panglima Perang menggantikan Khalid bin Walid.
Suatu
ketika, ketika di masa pemerintahan Abu Ubaidah bin Jarrah, Syam
dikepung musuh. Umar bin Khattab berkirim surat kepada Abu Ubaidah bin
Jarrah. Isinya, “Sesungguhnya tidak akan pernah ada seorang mukmin yang dibiarkan Allah dalam suatu penderitaan melainkan Dia akan melapangkan jalannya, hingga kesulitan akan dibalasnya dengan kemudahan,”
Surat itu dibalas oleh Abu Ubadah bin Jarrah dengan kalimat, “Sesungguhnya Allah SWT telah berfirman: Ketahuilah bahwasanya kehidupan dunia ini hanyalah main-main dan senda gurau, bermewah-mewah, dan saling membanggakan kekayaan dan anak pinak di antaramu, ibarat hujan (menyirami bumi), tumbuh-tumbuhan (menjadi subur menghijau), mengagumkan para petani. Lalu tanaman itu mengering, tampak menguning, kemudian menjadi rapuh dan hancur. Sedang di akhirat kelak, ada azab yang berat (bagi mereka yang menyenangi kemewahan dunia) namun ada pula ampunan dan keridhaan Allah (bagi yang mau bertobat). Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu belaka,” (Al-Haddid: 20)
Surat balasan Abu Ubaidah bin Jarrah ini oleh Umar bin Khattab dibacakan di depan kaum Muslimin seusai melaksanakan shalat berjamah.
“Wahai penduduk Madinah, sesungguhnya Abu Ubaidah mengharapkan aku dan kalian semua suka berjihad,” kata Umar bin Khattab.
Memang
Abu Ubaidah bin Jarrah dikenal orang di zamannya sebagai orang yang
zuhud. Umar bin Khattab pernah berkunjung ke Syam ketika Abu
Ubaidah bin Jarrah menjabat sebagai gubernur. “Abu Ubaidah, bolehkah aku datang ke rumahmu?” tanya Umar bin Khattab. Jawab Abu Ubaidah bin Jarrah, “Untuk apakah kau datang ke rumahku? Sesungguhnya aku takut kau tak kuasa menahan air matamu begitu mengetahui keadaanku nanti,”
Namun
Umar bin Khattab memaksa. Akhirnya Abu Ubaidah bin Jarrah mengizinkan
Umar bin Khattab berkunjung ke rumahnya. Sungguh Umar bin Khattab
terkejut. Ia mendapati rumah Sang Gubernur Syam kosong melompong. Tidak
ada perabotan sama sekali.
Umar bin Khattab bertanya, “Hai Abu Ubaidah, dimanakah penghidupanmu? Mengapa aku tidak melihat apa-apa selain sepotong kain lusuh dan sebuah piring besar itu, padahal kau seorang gubernur?”
“Adakah kau memiliki makanan?” tanya Umar bin Khattab lagi. Abu Ubaidah bin Jarrah kemudian berdiri
dari duduknya menuju ke sebuah ranjang dan memungut arang yang
di dalamnya.
Umar bin Khattab pun meneteskan air mata melihat kondisi gubernurnya seperti itu. Abu Ubaidah bin Jarrah pun berujar, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah sudah kukatakan tadi bahwa kau ke sini hanya untuk menangis?” Umar berkata, “Ya Abu Ubaidah, banyak sekali di antara kita orang-orang yang tertipu oleh godaan dunia,”
Suatu
ketika Umar bin Khattab mengirimi uang kepada Abu Ubaidah bin Jarrah
sejumlah empat ribu dinar. Orang yang diutus Umar melaporkan kepadanya, “Abu Ubaidah membagi-bagi kirimanmu,” Umar bin Khattab berujar, “Alhamdulillah, puji syukur kepada-Nya yang telah menjadikan seseorang dalam Islam yang memiliki sifat seperti dia,”
Makam Abu Ubaidah bin Jarrah |
Wafatnya Abu Ubaidah bin Jarrah
Pada tahun 18 Hijriyah, Umar bin Khattab mengirim bala tentara ke Jordania yang dipimpin oleh Abu Ubaidah bin Jarrah, kemudian tentara tersebut tinggal di ‘Amwas, Jordan, hingga terjangkit penyakit kusta saat bala tentara tinggal di sana. Ketika Umar bin Khattab mendengar hal demikian, beliau menulis surat kepada Abu Ubaidah bin Jarrah yang isinya : "Sungguh, saya memiliki sesuatu yang sangat penting dan saya membutuhkanmu, maka segeralah menghadap saya. Setelah Abu Ubaidah membaca surat itu, beliau menyadari bahwa yang diinginkan dari Umar bin Khattab menyelamatkan nyawanya dari penyakit kusta tersebut, maka baliau mengingatkan Umar bin Khattab dengan sabda Rasulullah SAW : “Penyakit kusta merupakan bagian dari syahadah bagi kaum Muslimin,”. (Muttafaqun ‘alaih). Lalu beliau menulis surat balasan dan berkata di dalamnya, sesungguhnya saya sudah mengetahui kebutuhanmu, maka saya telah mencari solusi dari kehendakmu itu, sesungguhnya saya seorang prajurit dari pasukan kaum muslimin, saya tidak sudi berpisah dengan mereka. Maka ketika Umar bin Khattab membaca surat beliau langsung menangis, dan dikatakan kepadanya, "Apakah Abu Ubaidah telah meninggal?" beliau berkata, “Tidak, tapi seakan-akan dia sudah meninggal," (Al-Hakim)
Kemudian
Amirul mukminin kembali menulis surat untuknya dan memerintahkannya
untuk pergi meninggalkan kota ‘Amwas ke tempat yang disebut Al-Jabiyah,
hingga semua pasukan tidak meninggal karenanya, lalu Abu Ubaidah pun
mengikuti perintah Amirul mukminin, namun beliau tetap terserang
penyakit kusta. Kemudian beliau mewasiatkan kepada Mu’adz bin Jabal
untuk memimpin pasukan, dan setelah itu beliau wafat sedang umurnya 58
tahun, beliau dishalatkan oleh Mu’adz bin Jabal, dan dikebumikan di
desa Baisan, Syam. Abu Ubaidah meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW
sebanyak 14 hadits.
Kisah Lain
Siapakah kiranya orang yang dipegang oleh Rasulullah SAW dengan tangan kanannya sambil bersabda, “Sesungguhnya setiap ummat mempunyai orang kepercayaan, dan sesungguhnya kepercayaan ummat ini adalah Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah,”
Siapakah orang yang dikirim oleh Nabi ke medan tempur Dzatus Salasil sebagai bantuan bagi Amar bin ‘Ash, dan diangkatnya sebagai panglima dari suatu pasukan yang di dalamnya terdapat Abu Bakar dan Umar?
Siapakah sahabat yang mula pertama disebut sebagai Amirul Umara atau panglima besar ini?
Dan siapakah orang yang tinggi perawakannya tetapi kurus tubuhnya, tipis jenggotnya, berwibawa wajahnya, dan ompong karena patah dua gigi mukanya?
Yah, siapakah kiranya orang kuat lagi terpercaya, sehingga Umar bin Khattab ketika hendak menghembuskan nafasnya yang terakhir pernah berkata mengenai pribadinya, “Seandainya Abu ‘Ubadah ibnul Jarrah masih hidup, tentulah ia di antara orang-orang yang akan saya angkat sebagai penggantiku. Dan jika Tuhanku menanyakan hal itu tentulah, “Saya angkat kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-Nya,”
Ia adalah Abu ‘Ubaidah, Amir bin Abdillah ibnul Jarrah. Ia masuk Islam melalui Abu Bakar Shiddiq di awal mula kerasulan, yakni sebelum Rasulullah SAW mengambil rumah Arqam sebagai tempat da’wah. Ia ikut hijrah ke Habsy pada kali kedua. Ia kembali pulang agar dapat mendampingi Rasulullah di perang Badar, perang Uhud, dan pertempuran-pertempuran lainnya. Lalu sepeninggal Rasulullah, dilanjutkannya gaya hidupnya sebagai seorang kuat yang dipercaya mendampingi Abu Bakar dan kemudian Umar dalam pemerintahan masing-masing dengan mengesampingkan dunia kemewahan dalam menghadapi tanggung jawab keagamaan, baik dalam zuhud dan ketaqwaan, amanah dan keteguhan.
Ketika Abu ‘Ubaidah bai’at atau sumpah setia kepada Rasulullah SAW akan membangkitkan hidupnya di jalan Allah, ia menyadari sepenuhnya makna kata-kata yang tiga ini: berjuang di jalan Allah, dan telah memiliki persiapan sempurna untuk menyerahkan kepadanya apa saja yang diperlukan berupa darma bakti dan pengorbanan.
Semenjak ia mengulurkan tangannya untuk bai’at kepada Rasulullah, ia tidak memperhatikan kepentingan pribadi dan masa depannya. Seluruh kehidupannya dihabiskan dalam mengemban amanat yang dititipkan Allah kepadanya dan dibaktikan pada jalan-Nya demi mencapai keridhaan-Nya. Tiada suatu pun yang dikejar untuk kepentingan dirinya pribadi, dan tiada satu keinginan atau kebencian pun yang dapat menyelewengkannya dari jalan Allah itu.
Maka tatkala Abu ‘Ubaidah telah menepati janji yang dilakukan oleh para sahabat lainnya, dilihat pula oleh Rasulullah sikap jiwa dan tata cara kehidupannya yang menyebabkannya layak untuk menerima gelar mulia yang diserahkan serta dihadiahkan Rauslullah kepadanya, dengan sabdanya: “Orang kepercayaan ummat ini, Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah,”
Amanat atau kepercayaan yang dipenuhi oleh Abu ‘Ubaidah atas segala tanggung jawabnya, merupakan sifatnya yang paling menonjol. Umpamanya waktu perang Uhud, dari gerak-gerik dan jalan pertempuran, diketahuinya bahwa tujuan utama dari orang-oarng musyrik itu adalah bukanlah hendak merebut kemenangan, tetapi untuk menghabisi riwayat Nabi Besar dan merenggut nyawanya. Ia berjanji kepada dirinya untuk selalu dekat dengan Rasulullah di arena perjuangan itu.
Maka dengan pedangnya yang terpercaya seperti dirinya pula, ia maju ke muka, merambah dan mendesak tentara berhala yang hendak melampiaskan maksud jahat mereka untuk memadamkan nur Ilahi. Setiap suasana medan pertempuran memaksanya terpisah jauh dari Rasulullah SAW, ia tetap bertempur tanpa melepaskan pandangan matanya dari kedudukan Rasulullah itu yang selalu diikutinya dengan hati cemas dan jiwa gelisah. Jika dilihatnya ada bahaya yang mengancam Nabi, maka ia bagaikan disentakan dari tempatnya lalu melompat menerkam musuh-musuh Allah dan menghalau mereka ke belakang sebelum mereka sempat mencelakakannya.
Suatu ketika pertempuran berkecamuk dengan hebatnya, ia terpisah dari Nabi karena terkepung oleh tentara musuh; tetapi seperti biasa kedua matanya bagai mata elang mengintai keadaan sekitarnya. Hampir saja ia gelap mata, melihat sebuah anak panah meluncur dari tangan seorang musyrik lalu mengenai Nabi. Terlihatlah pedangnya yang sebilah itu berkelibatan, tak ubah bagai seratus bilah pedang menghantam musuh yang mengepungnya hingga mencerai-beraikan mereka, lalu ia terbang mendapatkan Rasulullah. Didapatinya darah beliau yang suci mengalir dari mukanya, dan dilihatnya Rasulullah Al-Amin, menghapus darah dengan tangan kanannya, sambil bersabda:
Abu ‘Ubaidah melihat dua buah mata rantai baju besi penutup kepala Rasulullah menancap di kedua belah pipinya. Abu ‘Ubaidah tak dapat manahan hatinya lagi; ia segera menggigit salah satu mata rantai itu dengan gigi manisnya lalu menariknya dengan kuat dari pipi Rasulullah hingga tercabut keluar, tetapi bersamaan dengan itu, tercabut pula sebuah gigi manis Abu ‘Ubaidah, lalu ditariknya mata rantai yang kedua dan tercabut pulalah gigi manis Abu ‘Ubaidah yang kedua. Dan baiklah kita serahkan kepada Abu Bakar Shiddiq untuk menceritakan persitiwa itu;
“Di waktu perang Uhud dan Rasulullah SAW ditimpa anak panah hingga dua buah rantai ketopong masuk ke dua belah pipinya bagian atas, saya segera berlari mendapatkan Rasulullah SAW kiranya ada seorang yang datang bagaikan terbang dari jurusan timur, maka kataku: ‘Ya Allah, moga-moga itu merupakan pertolongan!’ Dan kala kami sampai pada Rasulullah, kiranya orang itu adalah Abu ‘Ubaidah yang telah mendahuluinya ke sana, serta katanya, “Atas nama Allah, saya minta kepada anda wahai Abu Bakar, agar saya dibiarkan mencabutnya dari pipi Rasulullah SAW,” Saya pun membiarkanya, maka dengan gigi mukanya Abu ‘Ubaidah mencabut salah satu mata rantai baju besi penutup kepala beliau hingga ia terjatuh ke tanah, dan bersamaan dengan itu jatuhlah pula sebuah gigi manis Abu ‘Ubaidah. Kemudian ditariknya pula mata rantai yang kedua dengan giginya yang lain hingga sama tercabut, menyebabkan Abu ‘Ubaidah tampak di hadapan orang banyak bergigi ompong,”
Di saat-saat bertambah besar dan meluasnya tanggung jawab para sahabat, maka amanah dan kejujuran Abu ‘Ubaidah meningkatlah pula. Tat kala ia dikirim oleh Nabi SAW dalam ekspedisi Daun Khabath dengan memimpin lebih dari tiga ratus orang prajurit sedang berbekalan mereka tidak lebih dari sebakul kurma, sementara tugas sulit dan jarak yang akan ditempuh jauh pula, Abu ‘Ubaidah menerima perintah itu dengan taat dan hati gembira. Bersama anak buahnya pergilah ia ke tempat yang dituju, dan berbekal-lah setiap prajurit setiap harinya hanyalah segenggam kurma. Ketika perbekalan hampir habis, maka bagian masing-maisng prajurit hanyalah sebuah kurma untuk sehari. Tat kala habis sama sekali, mereka mulai mencari daun kayu yang disebut khabath, lalu mereka tumbuk hingga halus seperti tepung dengan menggunkan alat senjata. Di samping daun-daun itu dijadikan sebagai makanan, dapat pula mereka gunakan sebagai wadah untuk air minum. Itulah sebabnya ekspedisi ini disebut ekspedisi “Daun Khabath”.
Mereka terus maju tanpa menghiraukan lapar dan dahaga, dan tak ada tujuan mereka kecuali menyelesaikan tugas mulia bersama panglima mereka yang kuat lagi terpercaya.
Rasulullah amat sayang kepada Abu ‘Ubaidah sebagai orang kepercayaan ummat, dan beliau sangat terkesan kepadanya. Tatkala datang perutusan Najran dari Yaman menyatakan keislaman mereka dan meminta kepada Nabi agar dikirim bersama mereka seorang guru untuk mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta seluk beluk agama Islam, maka ujar beliau : “Baiklah, akan saya kirim bersama Tuan-Tuan seorang yang terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya,”
Para sahabat mendengar pujian yang keluar dari mulut Rasulullah SAW ini, dan masing-masing berharap agar pilihan agar jatuh kepada dirinya, hingga beruntung beroleh pengakuan dan kesaksian yang tak dapat diragukan lagi kebenarannya.
Umar bin khattab menceritakan peristiwa itu sebagai berikut:
“Aku tak pernah berangan-angan menjadi amir, tetapi ketika itu aku tertarik oleh ucapan beliau dan mengharapkan yang dimaksud beliau itu adalah aku. Aku cepat-cepat berangkat untuk shalat dzuhur. Dan tatkala Rasulullah selesai mengimami kami shalat dzuhur, beliau memberi salam, lalu menoleh ke sebelah kanan dan kiri. Maka saya pun mengulurkan badan agar kelihatan oleh beliau. Tetapi ia juga masih melayangkan pandangannya mencari-cari, hingga akhirnya tampaklah Abu ‘Ubaidah, maka dipanggilnya, lalu sabdanya: “Pergilah berangkat bersama mereka dan selesaikanlah apabila terjadi perselisihan di antara mereka dengan haq,”
Maka Abu ‘Ubaidah berangkatlah bersama orang-orang itu.
Dengan peristiwa ini, tentu saja tidak berarti bahwa Abu ‘Ubaidah merupakan satu-satunya yang mendapat kepercayaan dan tugas dari Rasulullah, sedang lainnya tidak. Maksudnya ialah bahwa ia adalah salah seorang yang beruntung beroleh kepercayaan yang berharga serta tugas mulia ini. Di samping itu, ia adalah salah seorang, mungkin juga satu-satunya orang pada masa itu, yang berprofesi da’i.
Sebagaimana Abu Ubaidah menjadi seorang kepercayaan di masa Rasulullah SAW , demikian pula setelah Rasulullah wafat, ia tetap sebagai orang kepercayaan; memikul semua tanggung jawab dengan sifat amanah. Wajarlah apabila ia menjadi suri teladan bagi seluruh ummat manusia.
Di bawah panji-panji Islam, kemana pun ia pergi, ia adalah seorang prajurit yang dengan keutamaan dan keberaniannya melebihi seorang amir atau panglima; dan disaat ia sebagai panglima, karena keikhlasan dan kerendahan hatinya, menyebabkan tidak lebih dari seorang prajurit biasa.
Kemudian, tatkala Khalid bin Walid sedang memimpin tentara Islam dalam salah satu pertempuran terbesar yang menentukan, tiba-tiba amirul mu’minin Umra memaklumkan titahnya untuk mengangkat Abu ‘Ubaidah sebagai pengganti Khalid, maka demi diterimanya berita itu, dari utusan khalifah, dimintanya orang itu untuk merahasiakan berita tersebut kepada umum. Sementara, Abu ‘Ubaidah sendiri mendiamkannya dengan suatu niat dan tujuan baik sebagai lazimnya dimiliki seorang zuhud, arif, bijaksana, lagi dipercaya, menunggu selesainya panglima Khalid itu merebut kemenangan besar.
Setelah kemenangan tercapai, barulah ia mendapatkan Khlaid dengan hormat dan ta’dhimnya untuk menyerahkan surat dari amirul mu’minin. Ketika Khalid bertanya kepadanya, “Semoga Allah memberimu rahmat wahai Abu ‘Ubaidah! Apa sebabnya anda tidak menyampaikannya kepadaku di waktu datangnya?” Maka ujar kepercayaan ummat itu, “Saya tidak ingin mematahkan ujung tombak anda, dan bukan kekuasaan dunia yang kita tuju, dan bukan pula untuk dunia kita beramal. Kita semua bersaudara karena Allah,”
Demikianlah, Abu ‘Ubaidah telah menjadi panglima besar di Syria Di bawah kekuasaanya, bernaung sebagian besar tentara Islam, baik dalam luas wilayahnya, maupun dalam perbekalan dan jumlah bilangannya. Tetapi bila anda melihatnya, maka sangka anda bahwa ia adalah salah seorang prajurit biasa serta pribadi biasa dari kaum muslimin.
Ketika sampai kepadanya perbincangan orang-orang Syria tentang dirinya dan ketakjuban mereka terhadap sebutan panglima besar, dikumpulkannya mereka lalu ia berdiri menyampaikan pidato.
Nah, cobalah anda sekalian perhatikan apa yang diucapkannya kepada orang-orang yang terpesona dengan kekuatan, kebesaran dan sifat amanahnya, “Hai ummat manusia..Sesungguhnya saya ini adalah seorang muslim dari suku Quraisy. Dan siapa saja diantara kalian, baik ia berkulit merah atau hitam yang lebih takwa dari padaku, hatiku ingin sekali berada dalam bimbingannya!”
"Semoga Allah melanjutkan kebahagiaanmu, wahai Abu ‘Ubaidah. Dan mengekalkan agama yang telah mendidikmu, serta Rasulullah yang telah mengajarimu,"
Kedudukannya sebagai panglima besar, dan pemimpin tentara Islam yang paling banyak jumlahnya dan paling menonjol keperwiraannya serta paling besar kemenangannya, begitu pun sebagai wali negeri di wilayah Syria yang semua kehendakanya berlaku dan perintahnya ditaati, maka semua itu dan lainnya yang serupa, tidak menggoyahkan ketakwaanya sedikit pun, dan tidak dijadikan andalan.
Amirul Mu’minin Umar bin Khattab datang berkunjung ke Syria, kepada para penyambutnya ditanyakannya:
“Mana saudara saya?”
“Siapa?” ujar mereka.
“Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah,” katanya pula.
Kemudian datanglah Abu ‘Ubaidah yang kemudian dipeluk oleh Amirul Mu’minin, lalu mereka pergi bersama-sama ke rumahnya. Maka tidak satu pun perabot rumah tangga terdapat di rumah itu, kecuali pedang, tameng serta pelana kendarannya.
Sambil tersenyum, Umar bertanya kepadanya, “Kenapa tidak kau ambil untuk dirimu sebagaimana dilakukan oleh orang lain?” Maka jawab Abu ‘Ubaidah, “Wahai Amirul Mu’minin, ini menyebabkan hatiku lega dan sempat beristirahat,”
Pada suatu hari di Madinah, tatkala Amirul Mu’minin Umar bin Khattab sibuk menangani dunia Islam yang luas, disampaikan orang berita berkabung meninggalnya Abu ‘Ubaidah.
Maka terpejamlah kedua pelupuk matanya yang telah digenangi air. Dan air itu pun meleleh, hingga Amirul Mu’minin membuka matanya dengan tawakkal menyerahkan diri. Dimohonkannya rahmat bagi sahabatnya itu, dan bangkitlah kanangan-kenangan lamanya bersama Almarhum RA yang ditampungnya dengan hati sabar diliputi duka. Kemudian diulangi kembali ucapan berkenaan sahabatnya itu, katanya:
“Seandainya aku bercita-cita, maka tak adalah harapanku selain sebuah rumah yang penuh didiami oleh tokoh-tokoh seperti Abu ‘Ubaidah,”
Orang kepercayan dari ummat ini wafat di atas bumi yang telah disucikannya dari keberhalaan Persi dan penindasan Romawi. Dan di sana sekarang ini, yaitu dalam pangkuan tanah Yordania, bermukim tulang kerangka yang mulia, yang dulunya tempat bersemayam jiwa yang tenteram dan ruh pilihan.
Meskipun makamnya sekarang ini dikenal orang atau tidak, sama saja halnya bagi dia atau bagi anda, karena seandainya anda bermaksud hendak mencapainya, anda tidak memerlukan petunjuk jalan, karena jasa-jasanya yang tidak terkira akan menuntun anda ke tempatnya itu.
Sumber : Klik Disini
Kisah Lain
Siapakah kiranya orang yang dipegang oleh Rasulullah SAW dengan tangan kanannya sambil bersabda, “Sesungguhnya setiap ummat mempunyai orang kepercayaan, dan sesungguhnya kepercayaan ummat ini adalah Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah,”
Siapakah orang yang dikirim oleh Nabi ke medan tempur Dzatus Salasil sebagai bantuan bagi Amar bin ‘Ash, dan diangkatnya sebagai panglima dari suatu pasukan yang di dalamnya terdapat Abu Bakar dan Umar?
Siapakah sahabat yang mula pertama disebut sebagai Amirul Umara atau panglima besar ini?
Dan siapakah orang yang tinggi perawakannya tetapi kurus tubuhnya, tipis jenggotnya, berwibawa wajahnya, dan ompong karena patah dua gigi mukanya?
Yah, siapakah kiranya orang kuat lagi terpercaya, sehingga Umar bin Khattab ketika hendak menghembuskan nafasnya yang terakhir pernah berkata mengenai pribadinya, “Seandainya Abu ‘Ubadah ibnul Jarrah masih hidup, tentulah ia di antara orang-orang yang akan saya angkat sebagai penggantiku. Dan jika Tuhanku menanyakan hal itu tentulah, “Saya angkat kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-Nya,”
Ia adalah Abu ‘Ubaidah, Amir bin Abdillah ibnul Jarrah. Ia masuk Islam melalui Abu Bakar Shiddiq di awal mula kerasulan, yakni sebelum Rasulullah SAW mengambil rumah Arqam sebagai tempat da’wah. Ia ikut hijrah ke Habsy pada kali kedua. Ia kembali pulang agar dapat mendampingi Rasulullah di perang Badar, perang Uhud, dan pertempuran-pertempuran lainnya. Lalu sepeninggal Rasulullah, dilanjutkannya gaya hidupnya sebagai seorang kuat yang dipercaya mendampingi Abu Bakar dan kemudian Umar dalam pemerintahan masing-masing dengan mengesampingkan dunia kemewahan dalam menghadapi tanggung jawab keagamaan, baik dalam zuhud dan ketaqwaan, amanah dan keteguhan.
Ketika Abu ‘Ubaidah bai’at atau sumpah setia kepada Rasulullah SAW akan membangkitkan hidupnya di jalan Allah, ia menyadari sepenuhnya makna kata-kata yang tiga ini: berjuang di jalan Allah, dan telah memiliki persiapan sempurna untuk menyerahkan kepadanya apa saja yang diperlukan berupa darma bakti dan pengorbanan.
Semenjak ia mengulurkan tangannya untuk bai’at kepada Rasulullah, ia tidak memperhatikan kepentingan pribadi dan masa depannya. Seluruh kehidupannya dihabiskan dalam mengemban amanat yang dititipkan Allah kepadanya dan dibaktikan pada jalan-Nya demi mencapai keridhaan-Nya. Tiada suatu pun yang dikejar untuk kepentingan dirinya pribadi, dan tiada satu keinginan atau kebencian pun yang dapat menyelewengkannya dari jalan Allah itu.
Maka tatkala Abu ‘Ubaidah telah menepati janji yang dilakukan oleh para sahabat lainnya, dilihat pula oleh Rasulullah sikap jiwa dan tata cara kehidupannya yang menyebabkannya layak untuk menerima gelar mulia yang diserahkan serta dihadiahkan Rauslullah kepadanya, dengan sabdanya: “Orang kepercayaan ummat ini, Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah,”
Amanat atau kepercayaan yang dipenuhi oleh Abu ‘Ubaidah atas segala tanggung jawabnya, merupakan sifatnya yang paling menonjol. Umpamanya waktu perang Uhud, dari gerak-gerik dan jalan pertempuran, diketahuinya bahwa tujuan utama dari orang-oarng musyrik itu adalah bukanlah hendak merebut kemenangan, tetapi untuk menghabisi riwayat Nabi Besar dan merenggut nyawanya. Ia berjanji kepada dirinya untuk selalu dekat dengan Rasulullah di arena perjuangan itu.
Maka dengan pedangnya yang terpercaya seperti dirinya pula, ia maju ke muka, merambah dan mendesak tentara berhala yang hendak melampiaskan maksud jahat mereka untuk memadamkan nur Ilahi. Setiap suasana medan pertempuran memaksanya terpisah jauh dari Rasulullah SAW, ia tetap bertempur tanpa melepaskan pandangan matanya dari kedudukan Rasulullah itu yang selalu diikutinya dengan hati cemas dan jiwa gelisah. Jika dilihatnya ada bahaya yang mengancam Nabi, maka ia bagaikan disentakan dari tempatnya lalu melompat menerkam musuh-musuh Allah dan menghalau mereka ke belakang sebelum mereka sempat mencelakakannya.
Suatu ketika pertempuran berkecamuk dengan hebatnya, ia terpisah dari Nabi karena terkepung oleh tentara musuh; tetapi seperti biasa kedua matanya bagai mata elang mengintai keadaan sekitarnya. Hampir saja ia gelap mata, melihat sebuah anak panah meluncur dari tangan seorang musyrik lalu mengenai Nabi. Terlihatlah pedangnya yang sebilah itu berkelibatan, tak ubah bagai seratus bilah pedang menghantam musuh yang mengepungnya hingga mencerai-beraikan mereka, lalu ia terbang mendapatkan Rasulullah. Didapatinya darah beliau yang suci mengalir dari mukanya, dan dilihatnya Rasulullah Al-Amin, menghapus darah dengan tangan kanannya, sambil bersabda:
“Bagaimana mungkin berbahagia suatu kaum yang mencemari
wajah Nabi mereka, padahal ia menyerunya kepada Nabi mereka, padahal ia
menyerunya kepada Tuhan mereka,”
Abu ‘Ubaidah melihat dua buah mata rantai baju besi penutup kepala Rasulullah menancap di kedua belah pipinya. Abu ‘Ubaidah tak dapat manahan hatinya lagi; ia segera menggigit salah satu mata rantai itu dengan gigi manisnya lalu menariknya dengan kuat dari pipi Rasulullah hingga tercabut keluar, tetapi bersamaan dengan itu, tercabut pula sebuah gigi manis Abu ‘Ubaidah, lalu ditariknya mata rantai yang kedua dan tercabut pulalah gigi manis Abu ‘Ubaidah yang kedua. Dan baiklah kita serahkan kepada Abu Bakar Shiddiq untuk menceritakan persitiwa itu;
“Di waktu perang Uhud dan Rasulullah SAW ditimpa anak panah hingga dua buah rantai ketopong masuk ke dua belah pipinya bagian atas, saya segera berlari mendapatkan Rasulullah SAW kiranya ada seorang yang datang bagaikan terbang dari jurusan timur, maka kataku: ‘Ya Allah, moga-moga itu merupakan pertolongan!’ Dan kala kami sampai pada Rasulullah, kiranya orang itu adalah Abu ‘Ubaidah yang telah mendahuluinya ke sana, serta katanya, “Atas nama Allah, saya minta kepada anda wahai Abu Bakar, agar saya dibiarkan mencabutnya dari pipi Rasulullah SAW,” Saya pun membiarkanya, maka dengan gigi mukanya Abu ‘Ubaidah mencabut salah satu mata rantai baju besi penutup kepala beliau hingga ia terjatuh ke tanah, dan bersamaan dengan itu jatuhlah pula sebuah gigi manis Abu ‘Ubaidah. Kemudian ditariknya pula mata rantai yang kedua dengan giginya yang lain hingga sama tercabut, menyebabkan Abu ‘Ubaidah tampak di hadapan orang banyak bergigi ompong,”
Di saat-saat bertambah besar dan meluasnya tanggung jawab para sahabat, maka amanah dan kejujuran Abu ‘Ubaidah meningkatlah pula. Tat kala ia dikirim oleh Nabi SAW dalam ekspedisi Daun Khabath dengan memimpin lebih dari tiga ratus orang prajurit sedang berbekalan mereka tidak lebih dari sebakul kurma, sementara tugas sulit dan jarak yang akan ditempuh jauh pula, Abu ‘Ubaidah menerima perintah itu dengan taat dan hati gembira. Bersama anak buahnya pergilah ia ke tempat yang dituju, dan berbekal-lah setiap prajurit setiap harinya hanyalah segenggam kurma. Ketika perbekalan hampir habis, maka bagian masing-maisng prajurit hanyalah sebuah kurma untuk sehari. Tat kala habis sama sekali, mereka mulai mencari daun kayu yang disebut khabath, lalu mereka tumbuk hingga halus seperti tepung dengan menggunkan alat senjata. Di samping daun-daun itu dijadikan sebagai makanan, dapat pula mereka gunakan sebagai wadah untuk air minum. Itulah sebabnya ekspedisi ini disebut ekspedisi “Daun Khabath”.
Mereka terus maju tanpa menghiraukan lapar dan dahaga, dan tak ada tujuan mereka kecuali menyelesaikan tugas mulia bersama panglima mereka yang kuat lagi terpercaya.
Rasulullah amat sayang kepada Abu ‘Ubaidah sebagai orang kepercayaan ummat, dan beliau sangat terkesan kepadanya. Tatkala datang perutusan Najran dari Yaman menyatakan keislaman mereka dan meminta kepada Nabi agar dikirim bersama mereka seorang guru untuk mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta seluk beluk agama Islam, maka ujar beliau : “Baiklah, akan saya kirim bersama Tuan-Tuan seorang yang terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya,”
Para sahabat mendengar pujian yang keluar dari mulut Rasulullah SAW ini, dan masing-masing berharap agar pilihan agar jatuh kepada dirinya, hingga beruntung beroleh pengakuan dan kesaksian yang tak dapat diragukan lagi kebenarannya.
Umar bin khattab menceritakan peristiwa itu sebagai berikut:
“Aku tak pernah berangan-angan menjadi amir, tetapi ketika itu aku tertarik oleh ucapan beliau dan mengharapkan yang dimaksud beliau itu adalah aku. Aku cepat-cepat berangkat untuk shalat dzuhur. Dan tatkala Rasulullah selesai mengimami kami shalat dzuhur, beliau memberi salam, lalu menoleh ke sebelah kanan dan kiri. Maka saya pun mengulurkan badan agar kelihatan oleh beliau. Tetapi ia juga masih melayangkan pandangannya mencari-cari, hingga akhirnya tampaklah Abu ‘Ubaidah, maka dipanggilnya, lalu sabdanya: “Pergilah berangkat bersama mereka dan selesaikanlah apabila terjadi perselisihan di antara mereka dengan haq,”
Maka Abu ‘Ubaidah berangkatlah bersama orang-orang itu.
Dengan peristiwa ini, tentu saja tidak berarti bahwa Abu ‘Ubaidah merupakan satu-satunya yang mendapat kepercayaan dan tugas dari Rasulullah, sedang lainnya tidak. Maksudnya ialah bahwa ia adalah salah seorang yang beruntung beroleh kepercayaan yang berharga serta tugas mulia ini. Di samping itu, ia adalah salah seorang, mungkin juga satu-satunya orang pada masa itu, yang berprofesi da’i.
Sebagaimana Abu Ubaidah menjadi seorang kepercayaan di masa Rasulullah SAW , demikian pula setelah Rasulullah wafat, ia tetap sebagai orang kepercayaan; memikul semua tanggung jawab dengan sifat amanah. Wajarlah apabila ia menjadi suri teladan bagi seluruh ummat manusia.
Di bawah panji-panji Islam, kemana pun ia pergi, ia adalah seorang prajurit yang dengan keutamaan dan keberaniannya melebihi seorang amir atau panglima; dan disaat ia sebagai panglima, karena keikhlasan dan kerendahan hatinya, menyebabkan tidak lebih dari seorang prajurit biasa.
Kemudian, tatkala Khalid bin Walid sedang memimpin tentara Islam dalam salah satu pertempuran terbesar yang menentukan, tiba-tiba amirul mu’minin Umra memaklumkan titahnya untuk mengangkat Abu ‘Ubaidah sebagai pengganti Khalid, maka demi diterimanya berita itu, dari utusan khalifah, dimintanya orang itu untuk merahasiakan berita tersebut kepada umum. Sementara, Abu ‘Ubaidah sendiri mendiamkannya dengan suatu niat dan tujuan baik sebagai lazimnya dimiliki seorang zuhud, arif, bijaksana, lagi dipercaya, menunggu selesainya panglima Khalid itu merebut kemenangan besar.
Setelah kemenangan tercapai, barulah ia mendapatkan Khlaid dengan hormat dan ta’dhimnya untuk menyerahkan surat dari amirul mu’minin. Ketika Khalid bertanya kepadanya, “Semoga Allah memberimu rahmat wahai Abu ‘Ubaidah! Apa sebabnya anda tidak menyampaikannya kepadaku di waktu datangnya?” Maka ujar kepercayaan ummat itu, “Saya tidak ingin mematahkan ujung tombak anda, dan bukan kekuasaan dunia yang kita tuju, dan bukan pula untuk dunia kita beramal. Kita semua bersaudara karena Allah,”
Demikianlah, Abu ‘Ubaidah telah menjadi panglima besar di Syria Di bawah kekuasaanya, bernaung sebagian besar tentara Islam, baik dalam luas wilayahnya, maupun dalam perbekalan dan jumlah bilangannya. Tetapi bila anda melihatnya, maka sangka anda bahwa ia adalah salah seorang prajurit biasa serta pribadi biasa dari kaum muslimin.
Ketika sampai kepadanya perbincangan orang-orang Syria tentang dirinya dan ketakjuban mereka terhadap sebutan panglima besar, dikumpulkannya mereka lalu ia berdiri menyampaikan pidato.
Nah, cobalah anda sekalian perhatikan apa yang diucapkannya kepada orang-orang yang terpesona dengan kekuatan, kebesaran dan sifat amanahnya, “Hai ummat manusia..Sesungguhnya saya ini adalah seorang muslim dari suku Quraisy. Dan siapa saja diantara kalian, baik ia berkulit merah atau hitam yang lebih takwa dari padaku, hatiku ingin sekali berada dalam bimbingannya!”
"Semoga Allah melanjutkan kebahagiaanmu, wahai Abu ‘Ubaidah. Dan mengekalkan agama yang telah mendidikmu, serta Rasulullah yang telah mengajarimu,"
Kedudukannya sebagai panglima besar, dan pemimpin tentara Islam yang paling banyak jumlahnya dan paling menonjol keperwiraannya serta paling besar kemenangannya, begitu pun sebagai wali negeri di wilayah Syria yang semua kehendakanya berlaku dan perintahnya ditaati, maka semua itu dan lainnya yang serupa, tidak menggoyahkan ketakwaanya sedikit pun, dan tidak dijadikan andalan.
Amirul Mu’minin Umar bin Khattab datang berkunjung ke Syria, kepada para penyambutnya ditanyakannya:
“Mana saudara saya?”
“Siapa?” ujar mereka.
“Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah,” katanya pula.
Kemudian datanglah Abu ‘Ubaidah yang kemudian dipeluk oleh Amirul Mu’minin, lalu mereka pergi bersama-sama ke rumahnya. Maka tidak satu pun perabot rumah tangga terdapat di rumah itu, kecuali pedang, tameng serta pelana kendarannya.
Sambil tersenyum, Umar bertanya kepadanya, “Kenapa tidak kau ambil untuk dirimu sebagaimana dilakukan oleh orang lain?” Maka jawab Abu ‘Ubaidah, “Wahai Amirul Mu’minin, ini menyebabkan hatiku lega dan sempat beristirahat,”
Pada suatu hari di Madinah, tatkala Amirul Mu’minin Umar bin Khattab sibuk menangani dunia Islam yang luas, disampaikan orang berita berkabung meninggalnya Abu ‘Ubaidah.
Maka terpejamlah kedua pelupuk matanya yang telah digenangi air. Dan air itu pun meleleh, hingga Amirul Mu’minin membuka matanya dengan tawakkal menyerahkan diri. Dimohonkannya rahmat bagi sahabatnya itu, dan bangkitlah kanangan-kenangan lamanya bersama Almarhum RA yang ditampungnya dengan hati sabar diliputi duka. Kemudian diulangi kembali ucapan berkenaan sahabatnya itu, katanya:
“Seandainya aku bercita-cita, maka tak adalah harapanku selain sebuah rumah yang penuh didiami oleh tokoh-tokoh seperti Abu ‘Ubaidah,”
Orang kepercayan dari ummat ini wafat di atas bumi yang telah disucikannya dari keberhalaan Persi dan penindasan Romawi. Dan di sana sekarang ini, yaitu dalam pangkuan tanah Yordania, bermukim tulang kerangka yang mulia, yang dulunya tempat bersemayam jiwa yang tenteram dan ruh pilihan.
Meskipun makamnya sekarang ini dikenal orang atau tidak, sama saja halnya bagi dia atau bagi anda, karena seandainya anda bermaksud hendak mencapainya, anda tidak memerlukan petunjuk jalan, karena jasa-jasanya yang tidak terkira akan menuntun anda ke tempatnya itu.
Sumber : Klik Disini
undefined
Jakarta, Indonesia
Browse » Home » Archives for 30 Januari 2011
Thalhah bin Ubaidillah, Syahid Ketika Masih Hidup
Thalhah bin Ubaidillah |
Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amru bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ai.
Ibunya bernama Ash-Sha'bah binti Al Hadrami, saudara perempuan Al Ala'. Wanita ini telah menyatakan dirinya sebagai seorang muslimah. Beliau seorang pemuda Quraisy yang memilih profesi sebagai saudagar. Meski masih muda, Thalhah punya kelebihan dalam strategi berdagang, ia cerdik dan pintar, hingga dapat mengalahkan pedagang-pedagang lain yang lebih tua. Pada suatu ketika Thalhah bin Ubaidillah dan rombongan pergi ke Syam. Di Bushra, Thalhah bin Ubaidillah mengalami peristiwa menarik yang mengubah garis hidupnya.
Tiba-tiba seorang pendeta berteriak-teriak, "Wahai para pedagang, adakah di antara tuan-tuan yang berasal dari kota Makkah?"
Tiba-tiba seorang pendeta berteriak-teriak, "Wahai para pedagang, adakah di antara tuan-tuan yang berasal dari kota Makkah?"
"Ya, aku penduduk Mekkah," sahut Thalhah.
"Sudah munculkah orang di antara kalian orang bernama Ahmad?" tanyanya.
"Ahmad yang mana?"
"Ahmad bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Bulan ini pasti muncul sebagai Nabi penutup para Nabi. Kelak ia akan hijrah dari negerimu ke negeri berbatu-batu hitam yang banyak pohon kurmanya. Ia akan pindah ke negeri yang subur makmur, memancarkan air dan garam. Sebaiknya engkau segera menemuinya wahai anak muda," sambung pendeta itu.
Ucapan pendeta itu begitu membekas di hati Thalhah bin Ubaidillah, hingga tanpa menghiraukan kafilah dagang di pasar ia langsung pulang ke Mekkah. Setibanya di Mekkah, ia langsung bertanya kepada keluarganya, "Ada peristiwa apa sepeninggalku?"
Ucapan pendeta itu begitu membekas di hati Thalhah bin Ubaidillah, hingga tanpa menghiraukan kafilah dagang di pasar ia langsung pulang ke Mekkah. Setibanya di Mekkah, ia langsung bertanya kepada keluarganya, "Ada peristiwa apa sepeninggalku?"
"Ada Muhammad bin Abdullah mengatakan dirinya Nabi dan Abu Bakar Ash Siddiq telah mempercayai dan mengikuti apa yang dikatakannya," jawab mereka.
"Aku kenal Abu Bakar. Dia seorang yang lapang dada, penyayang dan lemah lembut. Dia pedagang yang berbudi tinggi dan teguh. Kami berteman baik, banyak orang menyukai majelisnya, karena dia ahli sejarah Quraisy," gumam Thalhah bin Ubaidillah lirih.
Setelah itu Thalhah bin Ubaidillah langsung mencari Abu Bakar Ash Siddiq. "Benarkah Muhammad bin Abdullah telah menjadi Nabi dan engkau mengikutinya?"
Setelah itu Thalhah bin Ubaidillah langsung mencari Abu Bakar Ash Siddiq. "Benarkah Muhammad bin Abdullah telah menjadi Nabi dan engkau mengikutinya?"
"Betul," Abu Bakar Ash Siddiq menceritakan kisah Muhammad sejak peristiwa di gua Hira' sampai turunnya ayat pertama. Abu Bakar As Siddiq mengajak Thalhah bin Ubaidillah untuk masuk Islam. Usai Abu Bakar Ash Siddiq bercerita Thalhah bin Ubaidillah ganti bercerita tentang pertemuannya dengan Pendeta Bushra. Abu Bakar As Siddiq tercengang. Lalu Abu Bakar Ash Siddiq mengajak Thalhah bin Ubaidillah untuk menemui Muhammad dan menceritakan peristiwa yang dialaminya dengan pendeta Bushra. Di hadapan Rasulullah, Thalhah bin Ubaidillah langsung mengucapkan dua kalimat syahadat.
Bagi keluarganya, masuk Islamnya Thalhah bin Ubaidillah bagaikan petir di siang bolong. Keluarganya dan orang-orang satu sukunya berusaha mengeluarkannya dari Islam. Mulanya dengan bujuk rayu, namun karena pendirian Thalhah bin Ubaidillah sangat kokoh, mereka akhirnya bertindak kasar. Siksaan demi siksaan mulai mendera tubuh anak muda yang santun itu. Sekelompok pemuda menggiringnya dengan tangan terbelenggu di lehernya, orang-orang berlari sambil mendorong, memecut dan memukuli kepalanya, dan ada seorang wanita tua yang terus berteriak mencaci maki Thalhah bin Ubaidillah, yaitu ibunya, Ash-Sha'bah. Tak hanya itu, pernah seorang lelaki Quraisy, Naufal bin Khuwailid yang menyeret Abu Bakar Ash Siddiq dan Thalhah bin Ubaidillah mengikat keduanya menjadi satu dan mendorong ke algojo hingga darah mengalir dari tubuh sahabat yang mulia ini. Peristiwa ini mengakibatkan Abu Bakar Ash Siddiq dan Thalhah bin Ubaidillah digelari Al-Qarinain atau sepasang sahabat yang mulia. Tidak hanya sampai disini saja cobaan dan ujian yang dihadapi Thalhah bin Ubaidillah, semua itu tidak membuatnya surut, melainkan makin besar bakti dan perjuangannya dalam menegakkan Islam, hingga banyak gelar dan sebutan yang didapatnya antara lain Assyahidul Hayy, atau syahid yang hidup.
Bagi keluarganya, masuk Islamnya Thalhah bin Ubaidillah bagaikan petir di siang bolong. Keluarganya dan orang-orang satu sukunya berusaha mengeluarkannya dari Islam. Mulanya dengan bujuk rayu, namun karena pendirian Thalhah bin Ubaidillah sangat kokoh, mereka akhirnya bertindak kasar. Siksaan demi siksaan mulai mendera tubuh anak muda yang santun itu. Sekelompok pemuda menggiringnya dengan tangan terbelenggu di lehernya, orang-orang berlari sambil mendorong, memecut dan memukuli kepalanya, dan ada seorang wanita tua yang terus berteriak mencaci maki Thalhah bin Ubaidillah, yaitu ibunya, Ash-Sha'bah. Tak hanya itu, pernah seorang lelaki Quraisy, Naufal bin Khuwailid yang menyeret Abu Bakar Ash Siddiq dan Thalhah bin Ubaidillah mengikat keduanya menjadi satu dan mendorong ke algojo hingga darah mengalir dari tubuh sahabat yang mulia ini. Peristiwa ini mengakibatkan Abu Bakar Ash Siddiq dan Thalhah bin Ubaidillah digelari Al-Qarinain atau sepasang sahabat yang mulia. Tidak hanya sampai disini saja cobaan dan ujian yang dihadapi Thalhah bin Ubaidillah, semua itu tidak membuatnya surut, melainkan makin besar bakti dan perjuangannya dalam menegakkan Islam, hingga banyak gelar dan sebutan yang didapatnya antara lain Assyahidul Hayy, atau syahid yang hidup.
Julukan ini diperolehnya dalam perang Uhud. Saat itu barisan kaum Muslimin terpecah belah dan kocar-kacir dari sisi Rasulullah. Yang tersisa di dekat beliau hanya 11 orang Anshar dan Thalhah bin Ubaidillah dari Muhajirin. Rasulullah dan orang-orang yang mengawal beliau naik ke bukit tadi dihadang oleh kaum Musyrikin.
"Siapa berani melawan mereka, dia akan menjadi temanku kelak di surga," seru Rasulullah. "Aku, Wahai Rasulullah," kata Thalhah bin Ubaidillah.
"Siapa berani melawan mereka, dia akan menjadi temanku kelak di surga," seru Rasulullah. "Aku, Wahai Rasulullah," kata Thalhah bin Ubaidillah.
"Tidak, jangan engkau, kau harus berada di tempatmu,"
"Aku, wahai Rasulullah.." kata seorang prajurit Anshar. "Ya, majulah," kata Rasulullah. Lalu prajurit Anshar itu maju melawan prajurit-prajurit kafir. Pertempuran yang tak seimbang mengantarkannya menemui kesyahidan.
Rasulullah kembali meminta para sahabat untuk melawan orang-orang kafir dan selalu saja Thalhah bin Ubaidillah mengajukan diri pertama kali. Tapi, senantiasa ditahan oleh Rasulullah dan diperintahkan untuk tetap ditempat sampai 11 prajurit Anshar gugur menemui syahid dan tinggal Thalhah bin Ubaidillah sendirian bersama Rasulullah.
Saat itu Rasulullah berkata kepada Thalhah bin Ubaidillah, "Sekarang engkau, wahai Thalhah," dan majulah Thalhah bin Ubaidillah dengan semangat jihad yang berkobar-kobar menerjang ke arah musuh dan menghalau agar jangan menghampiri Rasulullah. Lalu Thalhah berusaha menaikkan Rasulullah sendiri ke bukit, kemudian kembali menyerang hingga tak sedikit orang kafir yang tewas.
Saat itu Abu Bakar Ash Siddiq dan Abu Ubaidah bin Jarrah yang berada agak jauh dari Rasulullah telah sampai di dekat Rasulullah. "Tinggalkan aku, bantulah Thalhah, kawan kalian," seru Rasulullah. Keduanya bergegas mencari Thalhah bin Ubaidillah, ketika ditemukan, Ia dalam keadaan pingsan, sedangkan badannya berlumuran darah segar. Tak kurang 79 luka bekas tebasan pedang, tusukan lembing dan lemparan panah memenuhi tubuhnya. Pergelangan tangannya putus sebelah.
Dikiranya Thalhah sudah gugur, ternyata masih hidup. Karena itulah gelar syahid yang hidup diberikan Rasulullah. "Siapa yang ingin melihat orang berjalan di muka bumi setelah mengalami kematiannya, maka lihatlah Thalhah," sabda Rasulullah.
Sejak saat itu bila orang membicarakan perang Uhud di hadapan Abu Bakar As Siddiq, maka Beliau selalu menyahut, "Perang hari itu adalah peperangan Thalhah seluruhnya hingga akhir hayatnya,"
Pribadi Yang Pemurah Dan Dermawan
Kemurahan dan kedermawanan Thalhah bin Ubaidillah patut kita contoh dan kita teladani. Dalam hidupnya ia mempunyai tujuan utama yaitu bermurah dalam pengorbanan jiwa. Thalhah bin Ubaidillah merupakan salah seorang dari sepuluh orang yang pertama masuk Islam, dimana pada saat itu satu orang bernilai seribu orang.
Sejak awal keislamannya sampai akhir hidupnya dia tidak pernah mengingkari janji. Janjinya selalu tepat. Ia juga dikenal sebagai orang jujur, tidak pernah menipu apalagi berkhianat. Pernahkah anda melihat sungai yang airnya mengalir terus menerus mengairi dataran dan lembah? Begitulah Thalhah bin Ubaidillah. Ia adalah seorang dari kaum muslimin yang kaya raya, tapi pemurah dan dermawan. Istrinya bernama Su'da binti Auf. Pada suatu hari istrinya melihat Thalhah bin Ubaidillah sedang murung dan duduk termenung sedih. Melihat keadaan suaminya, sang istri segera menanyakan penyebab kesedihannya dan Thalhah menjawab, "Uang yang ada di tanganku sekarang ini begitu banyak sehingga memusingkanku. Apa yang harus kulakukan?" Maka istrinya berkata, "Uang yang ada di tanganmu itu bagi-bagikanlah kepada fakir-miskin,". Maka dibagi-bagikannyalah seluruh uang yang ada di tangan Thalhah tanpa meninggalkan sepeser pun.
Assaib bin Zaid berkata tentang Thalhah bin Ubaidillah, katanya, "Aku berkawan dengan Thalhah baik dalam perjalanan maupun sewaktu bermukim. Aku melihat tidak ada seorangpun yang lebih dermawan dari dia terhadap kaum muslimin. Ia mendermakan uang, sandang dan pangannya,"
Jaabir bin Abdullah bertutur, "Aku tidak pernah melihat orang yang lebih dermawan dari Thalhah walaupun tanpa diminta," Oleh karena itu patutlah jika dia dijuluki "Thalhah si dermawan", "Thalhah si pengalir harta", "Thalhah kebaikan dan kebajikan,"
Wafatnya Thalhah bin Ubaidillah
Sewaktu terjadi pertempuran Aljamal, Thalhah (di pihak lain) bertemu dengan Ali bin Abu Thalib dan memperingatkan agar ia mundur ke barisan paling belakang. Sebuah panah beracun mengenai betisnya, maka dia segera dipindahkan ke Basra dan tak berapa lama kemudian karena lukanya ia wafat. Thalhah bin Ubaidillah wafat pada usia enam puluh tahun dan dikubur di suatu tempat dekat padang rumput di Basra.
Dia wafat dalam usia lebih kurang 60 tahun. Dia telah dikaruniai 14 orang putera dan puteri, yaitu:
01. Muhammad As Sajjad
02. Imran
03. Isa
04. Ismail
05. Ishak
06. Yaakub
07. Musa
08. Zakaria
09. Yusuf
10. Yahya
11. Aisyah (Istri Mush'ab bin Zubair bin Awwam)
12. Ummu Ishak (Istri Hasan bin Ali)
13. Sha'bah
14. Maryam
Sesungguhnya Thalhah bin Ubaidillah berharap bisa gugur ketika berjuang bersama Rasulullah SAW saat menghadapi musuh Islam. Namun, ketentuan Ilahi menghendaki dia tewas di tangan orang Islam sendiri.
Rasulullah pernah berkata kepada para sahabat Ra, "Orang ini termasuk yang gugur dan barang siapa senang melihat seorang syahid berjalan di atas bumi maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah,". Hal itu juga dikatakan ALLAH dalam firman-Nya : "Di antara orang-orang mukmin itu ada orang -orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada ALLAH, maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya," (Al-Ahzaab: 23).
Rasulullah kembali meminta para sahabat untuk melawan orang-orang kafir dan selalu saja Thalhah bin Ubaidillah mengajukan diri pertama kali. Tapi, senantiasa ditahan oleh Rasulullah dan diperintahkan untuk tetap ditempat sampai 11 prajurit Anshar gugur menemui syahid dan tinggal Thalhah bin Ubaidillah sendirian bersama Rasulullah.
Saat itu Rasulullah berkata kepada Thalhah bin Ubaidillah, "Sekarang engkau, wahai Thalhah," dan majulah Thalhah bin Ubaidillah dengan semangat jihad yang berkobar-kobar menerjang ke arah musuh dan menghalau agar jangan menghampiri Rasulullah. Lalu Thalhah berusaha menaikkan Rasulullah sendiri ke bukit, kemudian kembali menyerang hingga tak sedikit orang kafir yang tewas.
Saat itu Abu Bakar Ash Siddiq dan Abu Ubaidah bin Jarrah yang berada agak jauh dari Rasulullah telah sampai di dekat Rasulullah. "Tinggalkan aku, bantulah Thalhah, kawan kalian," seru Rasulullah. Keduanya bergegas mencari Thalhah bin Ubaidillah, ketika ditemukan, Ia dalam keadaan pingsan, sedangkan badannya berlumuran darah segar. Tak kurang 79 luka bekas tebasan pedang, tusukan lembing dan lemparan panah memenuhi tubuhnya. Pergelangan tangannya putus sebelah.
Dikiranya Thalhah sudah gugur, ternyata masih hidup. Karena itulah gelar syahid yang hidup diberikan Rasulullah. "Siapa yang ingin melihat orang berjalan di muka bumi setelah mengalami kematiannya, maka lihatlah Thalhah," sabda Rasulullah.
Sejak saat itu bila orang membicarakan perang Uhud di hadapan Abu Bakar As Siddiq, maka Beliau selalu menyahut, "Perang hari itu adalah peperangan Thalhah seluruhnya hingga akhir hayatnya,"
Pribadi Yang Pemurah Dan Dermawan
Kemurahan dan kedermawanan Thalhah bin Ubaidillah patut kita contoh dan kita teladani. Dalam hidupnya ia mempunyai tujuan utama yaitu bermurah dalam pengorbanan jiwa. Thalhah bin Ubaidillah merupakan salah seorang dari sepuluh orang yang pertama masuk Islam, dimana pada saat itu satu orang bernilai seribu orang.
Sejak awal keislamannya sampai akhir hidupnya dia tidak pernah mengingkari janji. Janjinya selalu tepat. Ia juga dikenal sebagai orang jujur, tidak pernah menipu apalagi berkhianat. Pernahkah anda melihat sungai yang airnya mengalir terus menerus mengairi dataran dan lembah? Begitulah Thalhah bin Ubaidillah. Ia adalah seorang dari kaum muslimin yang kaya raya, tapi pemurah dan dermawan. Istrinya bernama Su'da binti Auf. Pada suatu hari istrinya melihat Thalhah bin Ubaidillah sedang murung dan duduk termenung sedih. Melihat keadaan suaminya, sang istri segera menanyakan penyebab kesedihannya dan Thalhah menjawab, "Uang yang ada di tanganku sekarang ini begitu banyak sehingga memusingkanku. Apa yang harus kulakukan?" Maka istrinya berkata, "Uang yang ada di tanganmu itu bagi-bagikanlah kepada fakir-miskin,". Maka dibagi-bagikannyalah seluruh uang yang ada di tangan Thalhah tanpa meninggalkan sepeser pun.
Assaib bin Zaid berkata tentang Thalhah bin Ubaidillah, katanya, "Aku berkawan dengan Thalhah baik dalam perjalanan maupun sewaktu bermukim. Aku melihat tidak ada seorangpun yang lebih dermawan dari dia terhadap kaum muslimin. Ia mendermakan uang, sandang dan pangannya,"
Jaabir bin Abdullah bertutur, "Aku tidak pernah melihat orang yang lebih dermawan dari Thalhah walaupun tanpa diminta," Oleh karena itu patutlah jika dia dijuluki "Thalhah si dermawan", "Thalhah si pengalir harta", "Thalhah kebaikan dan kebajikan,"
Wafatnya Thalhah bin Ubaidillah
Sewaktu terjadi pertempuran Aljamal, Thalhah (di pihak lain) bertemu dengan Ali bin Abu Thalib dan memperingatkan agar ia mundur ke barisan paling belakang. Sebuah panah beracun mengenai betisnya, maka dia segera dipindahkan ke Basra dan tak berapa lama kemudian karena lukanya ia wafat. Thalhah bin Ubaidillah wafat pada usia enam puluh tahun dan dikubur di suatu tempat dekat padang rumput di Basra.
Dia wafat dalam usia lebih kurang 60 tahun. Dia telah dikaruniai 14 orang putera dan puteri, yaitu:
01. Muhammad As Sajjad
02. Imran
03. Isa
04. Ismail
05. Ishak
06. Yaakub
07. Musa
08. Zakaria
09. Yusuf
10. Yahya
11. Aisyah (Istri Mush'ab bin Zubair bin Awwam)
12. Ummu Ishak (Istri Hasan bin Ali)
13. Sha'bah
14. Maryam
Sesungguhnya Thalhah bin Ubaidillah berharap bisa gugur ketika berjuang bersama Rasulullah SAW saat menghadapi musuh Islam. Namun, ketentuan Ilahi menghendaki dia tewas di tangan orang Islam sendiri.
Rasulullah pernah berkata kepada para sahabat Ra, "Orang ini termasuk yang gugur dan barang siapa senang melihat seorang syahid berjalan di atas bumi maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah,". Hal itu juga dikatakan ALLAH dalam firman-Nya : "Di antara orang-orang mukmin itu ada orang -orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada ALLAH, maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya," (Al-Ahzaab: 23).
Kisah Lain
Tiba-tiba seorang pendeta berteriak-teriak, "Wahai para pedagang, adakah di antara tuan-tuan yang berasal dari kota Mekkah?"
"Ya, aku penduduk Mekkah," sahut Thalhah.
"Sudah munculkah orang di antara kalian orang bernama Ahmad?" tanyanya.
"Ahmad yang mana?"
"Ahmad bin Abdullah bin Abdul
Muthalib. Bulan ini pasti muncul sebagai Nabi penutup para Nabi. Kelak
ia akan hijrah dari negerimu ke negeri berbatu-batu hitam yang banyak
pohon kurmanya. Ia akan pindah ke negeri yang subur makmur, memancarkan
air dan garam. Sebaiknya engkau segera menemuinya wahai anak muda,"
sambung pendeta itu.Ucapan pendeta itu begitu membekas di hati Thalhah bin Ubaidillah, hingga tanpa menghiraukan kafilah dagang di pasar ia langsung pulang ke Mekkah. Setibanya di Mekkah, ia langsung bertanya kepada keluarganya, "Ada peristiwa apa sepeninggalku?"
"Ada Muhammad bin Abdullah mengatakan dirinya Nabi dan Abu Bakar Ash Sihddiq telah mempercayai dan mengikuti apa yang dikatakannya," jawab mereka.
"Aku kenal Abu Bakar. Dia seorang yang lapang dada, penyayang dan lemah lembut. Dia pedagang yang berbudi tinggi dan teguh. Kami berteman baik, banyak orang menyukai majelisnya, karena dia ahli sejarah Quraisy," gumam Thalhah bin Ubaidillah lirih.
Setelah itu Thalhah bin Ubaidillah langsung mencari Abu Bakar Ash Shiddiq. "Benarkah Muhammad bin Abdullah telah menjadi Nabi dan engkau mengikutinya?"
"Betul," Abu Bakar Ash Shiddiq menceritakan kisah Muhammad sejak peristiwa di gua Hira' sampai turunnya ayat pertama. Abu Bakar Ash Shiddiq mengajak Thalhah bin Ubaidillah untuk masuk Islam. Usai Abu Bakar Ash Shiddiq bercerita Thalhah bin Ubaidillah ganti bercerita tentang pertemuannya dengan Pendeta Bushra. Abu Bakar Ash Shiddiq tercengang. Lalu Abu Bakar Ash Shiddiq mengajak Thalhah bin Ubaidillah untuk menemui Muhammad dan menceritakan peristiwa yang dialaminya dengan Pendeta Bushra. Di hadapan Rasulullah, Thalhah bin Ubaidillah langsung mengucapkan dua kalimat syahadat.
Bagi keluarganya, masuk Islamnya Thalhah bin Ubaidillah bagaikan petir di siang bolong. Keluarganya dan orang-orang satu sukunya berusaha mengeluarkannya dari Islam. Mulanya dengan bujuk rayu, namun karena pendirian Thalhah bin Ubaidillah sangat kokoh, mereka akhirnya bertindak kasar. Siksaan demi siksaan mulai mendera tubuh anak muda yang santun itu. Sekelompok pemuda menggiringnya dengan tangan terbelenggu di lehernya, orang-orang berlari sambil mendorong, memecut dan memukuli kepalanya, dan ada seorang wanita tua yang terus berteriak mencaci maki Thalhah bin Ubaidillah, yaitu ibunya, Ash-Sha'bah. Tak hanya itu, pernah seorang lelaki Quraisy, Naufal bin Khuwailid yang menyeret Abu Bakar Ash Shiddiq dan Thalhah bin Ubaidillah mengikat keduanya menjadi satu dan mendorong ke algojo hingga darah mengalir dari tubuh sahabat yang mulia ini. Peristiwa ini mengakibatkan Abu Bakar Ash Shiddiq dan Thalhah bin Ubaidillah digelari Al-Qarinain atau sepasang sahabat yang mulia. Tidak hanya sampai di sini saja cobaan dan ujian yang dihadapi Thalhah bin Ubaidillah, semua itu tidak membuatnya surut, melainkan makin besar bakti dan perjuangannya dalam menegakkan Islam, hingga banyak gelar dan sebutan yang didapatnya antara lain Assyahidul Hayy, atau syahid yang hidup.
Syahid Ketika Masih Hidup
Julukan ini diperolehnya dalam perang Uhud. Saat itu barisan kaum Muslimin terpecah belah dan kocar-kacir dari sisi Rasulullah. Yang tersisa di dekat beliau hanya 11 orang Anshar dan Thalhah bin Ubaidillah dari Muhajirin. Rasulullah dan orang-orang yang mengawal beliau naik ke bukit tadi dihadang oleh kaum Musyrikin.
"Siapa berani melawan mereka, dia akan menjadi temanku kelak di surga," seru Rasulullah. "Aku Wahai Rasulullah," kata Thalhah bin Ubaidillah. "Tidak, jangan engkau, kau harus berada di tempatmu,"
"Aku wahai Rasulullah," kata seorang prajurit Anshar. "Ya, majulah," kata Rasulullah. Lalu prajurit Anshar itu maju melawan prajurit-prajurit kafir. Pertempuran yang tak seimbang mengantarkannya menemui kesyahidan.
Rasulullah kembali meminta para sahabat untuk melawan orang-orang kafir dan selalu saja Thalhah bin Ubaidillah mengajukan diri pertama kali. Tapi, senantiasa ditahan oleh Rasulullah dan diperintahkan untuk tetap ditempat sampai 11 prajurit Anshar gugur menemui syahid dan tinggal Thalhah bin Ubaidillah sendirian bersama Rasulullah.
Saat itu Rasulullah berkata kepada Thalhah bin Ubaidillah, "Sekarang engkau, wahai Thalhah," Dan majulah Thalhah bin Ubaidillah dengan semangat jihad yang berkobar-kobar menerjang ke arah musuh dan menghalau agar jangan menghampiri Rasulullah. Lalu Thalhah berusaha menaikkan Rasulullah sendiri ke bukit, kemudian kembali menyerang hingga tak sedikit orang kafir yang tewas.
Saat itu Abu Bakar Ash Shiddiq dan Abu Ubaidah bin Jarrah yang berada agak jauh dari Rasulullah telah sampai di dekat Rasulullah. "Tinggalkan aku, bantulah Thalhah, kawan kalian," seru Rasulullah. Keduanya bergegas mencari Thalhah bin Ubaidillah, ketika ditemukan, Ia dalam keadaan pingsan, sedangkan badannya berlumuran darah segar. Tak kurang 79 luka bekas tebasan pedang, tusukan lembing dan lemparan panah memenuhi tubuhnya. Pergelangan tangannya putus sebelah.
Dikiranya Thalhah sudah gugur, ternyata masih hidup. Karena itulah gelar syahid yang hidup diberikan Rasulullah. "Siapa yang ingin melihat orang berjalan di muka bumi setelah mengalami kematiannya, maka lihatlah Thalhah," sabda Rasulullah.
Sejak saat itu bila orang membicarakan perang Uhud di hadapan Abu Bakar Ash Shiddiq, maka beliau selalu menyahut, "Perang hari itu adalah peperangan Thalhah seluruhnya hingga akhir hayatnya,"
Pribadi yang Pemurah dan Dermawan
Kemurahan dan kedermawanan Thalhah bin Ubaidillah patut kita contoh dan kita teladani. Dalam hidupnya ia mempunyai tujuan utama yaitu bermurah dalam pengorbanan jiwa. Thalhah bin Ubaidillah merupakan salah seorang dari sepuluh orang yang pertama masuk Islam, dimana pada saat itu satu orang bernilai seribu orang.
Sejak awal keislamannya sampai akhir hidupnya dia tidak pernah mengingkari janji. Janjinya selalu tepat. Ia juga dikenal sebagai orang jujur, tidak pernah menipu apalagi berkhianat. Pernahkah anda melihat sungai yang airnya mengalir terus menerus mengairi dataran dan lembah ? Begitulah Thalhah bin Ubaidillah. Ia adalah seorang dari kaum muslimin yang kaya raya, tapi pemurah dan dermawan. Istrinya bernama Su'da binti Auf. Pada suatu hari istrinya melihat Thalhah bin Ubaidillah sedang murung dan duduk termenung sedih. Melihat keadaan suaminya, sang istri segera menanyakan penyebab kesedihannya dan Thalhah mejawab, "Uang yang ada di tanganku sekarang ini begitu banyak sehingga memusingkanku. Apa yang harus kulakukan?" Maka istrinya berkata, "Uang yang ada ditanganmu itu bagi-bagikanlah kepada fakir-miskin," Maka dibagi-bagikannyalah seluruh uang yang ada ditangan Thalhah tanpa meninggalkan sepeser pun.
Assaib bin Zaid berkata tentang Thalhah bin Ubaidillah, katanya, "Aku berkawan dengan Thalhah baik dalam perjalanan maupun sewaktu bermukim. Aku melihat tidak ada seorangpun yang lebih dermawan dari dia terhadap kaum muslimin. Ia mendermakan uang, sandang dan pangannya,"
Jaabir bin Abdullah bertutur, "Aku tidak pernah melihat orang yang lebih dermawan dari Thalhah walaupun tanpa diminta," Oleh karena itu patutlah jika dia dijuluki "Thalhah si dermawan", "Thalhah si pengalir harta", "Thalhah kebaikan dan kebajikan".
Wafatnya Thalhah bin Ubaidillah
Sewaktu terjadi pertempuran Aljamal, Thalhah (di pihak lain) bertemu dengan Ali bin Abu Thalib dan memperingatkan agar ia mundur ke barisan paling belakang. Sebuah panah beracun mengenai betisnya, maka dia segera dipindahkan ke Basra dan tak berapa lama kemudian karena lukanya ia wafat. Thalhah bin Ubaidillah wafat pada usia enam puluh tahun dan dikubur di suatu tempat dekat padang rumput di Basra.
Dia wafat dalam usia lebih kurang 60 tahun. Dia telah dikaruniai 14 orang putera dan puteri, yaitu:
01. Muhammad As Sajjad
02. Imran
03. Isa
04. Ismail
05. Ishak
06. Yaakub
07. Musa
08. Zakaria
09. Yusuf
10. Yahya
11. Aisyah (Istri Mush'ab bin Zubair bin Awwam)
12. Ummu Ishak (Istri Hasan bin Ali)
13. Sha'bah
14. Maryam
Sesungguhnya Thalhah bin Ubaidillah berharap bisa gugur ketika berjuang bersama Rasulullah saw saat menghadapi musuh Islam. Namun, ketentuan Ilahi menghendaki dia tewas di tangan orang Islam sendiri.
Rasulullah pernah berkata kepada para sahabat R.A, "Orang ini termasuk yang gugur dan barang siapa senang melihat seorang syahid berjalan di atas bumi maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah,". Hal itu juga dikatakan ALLAH dalam firman-Nya : "Di antara orang-orang mukmin itu ada orang -orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada ALLAH, maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya," (Al-Ahzaab: 23)
undefined
Jakarta, Indonesia
Browse » Home » Archives for 30 Januari 2011
Masuk Islamnya Zubair bin Awwam
Zubair Bin Awwam |
Zubair bin Awwam bin Khuwailid bin Asad bin Abdil Uzza bin Qushai bin Kilab. Ibunya bernama Shafiyah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah SAW. Wanita ini telah menyatakan dirinya sebagai pemeluk agama Islam. Beliau termasuk salah seorang dari 7 orang yang pertama masuk Islam. Beliau memeluk agama Islam ketika dia masih berusia 8 tahun dan melakukan hijrah ketika berusia 18 tahun. Berperawakan tinggi dan berkulit putih. Namun ada juga yang mengatakan bahwa perawakan Zubair tidak termasuk sangat tinggi dan juga tidak tergolong pendek dan bukan termasuk orang yang berbadan gemuk. Ada yang mengatakan bahwa warna kulitnya sawo matang, memiliki banyak bulu badan, dan kedua pipinya tidak penuh terisi daging. Ketika pamannya Naufal bin Khuwailid mengetahui perihal Zubair telah masuk Islam, beliau sangat marah dan berusaha menyiksanya, pernah beliau dimasukkan dalam karung tikar, kemudian dibakar, dan dia berkata kepadanya, “Lepaskan dirimu dari Tuhan Muhammad, maka saya akan melepaskan dirimu dari api ini,” Namun Az-Zubair menolaknya dan berkata kepadanya, “Tidak, demi Allah saya tidak akan kembali kepada kekufuran selamanya,”
Suatu hari beliau mendengar isu yang mengabarkan bahwa Nabi Muhammad SAW telah meninggal, maka dia keluar menuju jalan-jalan di Mekkah
sambil menghunuskan pedangnya, dan memecah barisan manusia, lalu pergi
mencari kepastian dari isu ini dan berjanji jika isu itu benar dia akan
membunuh orang yang telah membunuh Rasulullah SAW, akhirnya beliau
bertemu dengan Rasulullah SAW di utara Mekkah, maka saat itu Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Ada apakah engkau gerangan?”
Dia berkata, “Saya
mendengar kabar bahwa engkau telah terbunuh,”
Nabi berkata
kepadanya, “Lalu apa yang akan engkau lakukan?”
Dia berkata, “Saya akan
membunuh orang yang telah membunuhmu,” Setelah mendengar hal tersebut
beliau pun bergembira dan mendoakannya dengan kebaikan dan pedangnya
dengan kemenangan. (Abu Nu’aim), beliau juga merupakan orang yang
pertama menghunuskan pedangnya di jalan Allah.
Perjuangan Zubair bin Awwam Dalam Islam
Zubair bin Awwam
pernah ikut berhijrah ke Habsyah bersama orang-orang hijrah dari kaum
muslimin, dan beliau tetap tinggal di sana hingga Rasulullah SAW
mengijinkannya untuk kembali ke Madinah. Beliau selalu mengikuti
peperangan bersama Rasulullah SAW, setelah perang Uhud dan orang-orang
Quraisy kembali ke Mekkah, Rasulullah SAW mengirim 70 orang sahabat
untuk mendampingi dirinya, termasuk di dalamnya Abu Bakar Ash Siddiq dan
Zubair bin Awwam. (Al-Bukhari).
Pada perang Yarmuk, Zubair bertarung dengan pasukan Romawi, namun pada saat tentara muslim bercerai berai, beliau berteriak : “Allahu Akbar” kemudian beliau menerobos ke tengah pasukan musuh sambil mengibaskan pedangnya ke kiri dan ke kanan, anaknya Urwah pernah berkata tentangnya, “Zubair memiliki tiga kali pukulan dengan pedangnya, saya pernah memasukkan jari saya di dalamnya, dua diantaranya saat perang badar, dan satunya lagi saat perang Yarmuk,". Salah seorang sahabatnya pernah bercerita, “Saya pernah bersama Zubair bin Awwam dalam hidupnya dan saya melihat dalam tubuhnya ada sesuatu, saya berkata kepadanya, "Demi Allah, saya tidak pernah melihat badan seorang pun seperti tubuhmu," dia berkata kepada saya, "Demi Allah, tidak ada luka dalam tubuh ini kecuali ikut berperang bersama Rasulullah SAW dan di jalan Allah," Dan diceritakan tentangnya, "Sesungguhnya tidak ada gubernur/pemimpin, penjaga dan keluar sesuatu apapun kecuali dalam mengikuti perang bersama Nabi SAW, atau Abu Bakar As Siddiq, Umar bin Khattab atau Utsman bin Affan," Saat terjadi pengepungan atas Bani Quraidzah dan mereka tidak mau menyerah, Rasulullah SAW mengutus beliau bersama Ali bin Abu Thalib, lalu keduanya berdiri di depan benteng dan mengulangi kata-katanya, “Demi Allah kalian akan merasakan seperti yang telah dirasakan oleh Hamzah, atau kami akan menaklukkan benteng ini,".
Nabi SAW pernah berkata tentangnya, “Setiap Nabi punya pendamping dan penolong, dan pendamping saya adalah Zubair,” (Muttafaqun alaih). Beliau juga sangat bangga dengan ucapan Rasulullah SAW saat terjadi perang Uhud dan perang Bani Quraidzah, “Lemparkanlah panahmu yang taruhannya adalah bapakku dan ibuku,”. Sayyidah Aisyah pernah berkata kepada Urwah bin Az-Zubar, “Sesungguhnya kedua orang tuamu merupakan orang yang mengikuti seruan Allah dan Rasul-Nya setelah tertimpa kepada keduanya luka," (maksudnya adalah Abu Bakar dan Az-Zubair). (Ibnu Majah).
Pada perang Yarmuk, Zubair bertarung dengan pasukan Romawi, namun pada saat tentara muslim bercerai berai, beliau berteriak : “Allahu Akbar” kemudian beliau menerobos ke tengah pasukan musuh sambil mengibaskan pedangnya ke kiri dan ke kanan, anaknya Urwah pernah berkata tentangnya, “Zubair memiliki tiga kali pukulan dengan pedangnya, saya pernah memasukkan jari saya di dalamnya, dua diantaranya saat perang badar, dan satunya lagi saat perang Yarmuk,". Salah seorang sahabatnya pernah bercerita, “Saya pernah bersama Zubair bin Awwam dalam hidupnya dan saya melihat dalam tubuhnya ada sesuatu, saya berkata kepadanya, "Demi Allah, saya tidak pernah melihat badan seorang pun seperti tubuhmu," dia berkata kepada saya, "Demi Allah, tidak ada luka dalam tubuh ini kecuali ikut berperang bersama Rasulullah SAW dan di jalan Allah," Dan diceritakan tentangnya, "Sesungguhnya tidak ada gubernur/pemimpin, penjaga dan keluar sesuatu apapun kecuali dalam mengikuti perang bersama Nabi SAW, atau Abu Bakar As Siddiq, Umar bin Khattab atau Utsman bin Affan," Saat terjadi pengepungan atas Bani Quraidzah dan mereka tidak mau menyerah, Rasulullah SAW mengutus beliau bersama Ali bin Abu Thalib, lalu keduanya berdiri di depan benteng dan mengulangi kata-katanya, “Demi Allah kalian akan merasakan seperti yang telah dirasakan oleh Hamzah, atau kami akan menaklukkan benteng ini,".
Nabi SAW pernah berkata tentangnya, “Setiap Nabi punya pendamping dan penolong, dan pendamping saya adalah Zubair,” (Muttafaqun alaih). Beliau juga sangat bangga dengan ucapan Rasulullah SAW saat terjadi perang Uhud dan perang Bani Quraidzah, “Lemparkanlah panahmu yang taruhannya adalah bapakku dan ibuku,”. Sayyidah Aisyah pernah berkata kepada Urwah bin Az-Zubar, “Sesungguhnya kedua orang tuamu merupakan orang yang mengikuti seruan Allah dan Rasul-Nya setelah tertimpa kepada keduanya luka," (maksudnya adalah Abu Bakar dan Az-Zubair). (Ibnu Majah).
Sifat Zubair bin Awwam
Zubair bin Awwam
juga merupakan seorang yang terhormat dan mulia, selalu menginfakkan
hartanya di jalan Allah, Ka’ab berkata tentangnya, “Az-Zubair memiliki
1000 macam kekayaan yang dikeluarkan untuk berperang, dan tidak ada
uang satu dirham pun yang masuk ke rumahnya," (maksudnya hartanya
disedekahkan seluruhnya), beliau menyedekahkan seluruh hartanya sampai
ia mati dalam keadaan berhutang, dan mewasiatkan kepada anaknya untuk
membayarkan hutangnya, dan beliau berkata kepadanya, “Jika engkau tidak
sanggup membayar hutang saya, maka mintalah tolong kepada Tuanku,”.
Abdullah pun bertanya, “Siapakah yang engkau maksud dengan Tuan?" Beliau
menjawab, "Allah, Dia-lah sebaik-baik pemimpin dan penolong,” Lalu
setelah itu Abdullah berkata, “Demi Allah saya tidak pernah mengalami
kesusahan dalam membayar hutangnya, kecuali saya berkata, "Wahai
Pemimpin/pemilik Zubair bayarlah hutang Zubair," maka Dia pun
menggantinya," (Al-Bukhari). Walaupun beliau selama hidupnya selalu
bersama Rasulullah SAW namun beliau tidak banyak meriwayatkan haditsnya
kecuali sedikit, anaknya Abdullah pernah bertanya akan sebab tersebut,
maka dia pun berkata, “Walaupun antara saya dan Rasulullah SAW memiliki
hubungan keluarga dan kerabat namun saya pernah mendengar beliau pernah
bersabda, "Barangsiapa yang berkata dusta atasku dengan sengaja, maka
akan ditempatkan di neraka," (Al-Bukhari). Karena itu dia sangat takut
meriwayatkan hadits yang tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah SAW
sehingga tergelincir ke dalam neraka.
Anak dan istri Zubair bin Awwam
Nama
Putra dan putri Az-Zubair adalah Abdullah, Urwah, Al Mundzir, Ashim, Al
Muhajir, Khadijah Al Kubra, Ummul Hasan, dan Aisyah. Semua anak
Az-Zubair ini berasal dari istrinya yang bernama Asma' binti Abu Bakar.
Sedangkan anak-anaknya yang bernama Khalid, Amru, Habibah, Saudah, dan
Hindun, berasal dari istrinya yang bernama Ummu Khalid. Nama asli wanita
ini adalah Amah binti Sa'id bin Al Ash.
Anak-anaknya yang bernama
Mush'ab, Hamzah, dan Ramlah, berasal dari istrinya yang bernama Ar-Rabab
binti Anif bin Ubaid. Anaknya yang bernama Ubaidah dan Ja'far berasal
dari istrinya, Zainab. Putrinya yang bernama Zainab berasal dari
istrinya, binti Ummu KultsumUqbah bin Abi Mu'aith. Putrinya lagi yang
bernama Khadijah Ash-Shugra berasal dari istrinya, Al Halal binti Qais.
Wafatnya Zubair bin Awwam
Saat
Zubair bin Awwam keluar dalam perang Al-Jamal, seseorang dari kaum
Tamim bernama Amru bin Jarmuz mengikuti beliau dan membunuhnya dari
belakang di suatu tempat yang bernama lembah Siba. Lalu pergi ke Imam
Ali bin Abu Thalib dengan menduga bahwa dia telah membawa kabar
gembira, setelah mengetahui hal tersebut Imam Ali bin Abu Thalib
berteriak dan berkata kepada pembantunya, “Berikan kabar kepada pembunuh
putra Sofiyyah dengan neraka, sungguh Rasulullah SAW pernah bersabda
kepada saya bahwa pembunuh Zubair adalah penghuni neraka,” (Ahmad, Ibnu
Hibban, Al-Hakim dan At-Thobroni). Zubair bin Awwam wafat pada hari
Kamis bulan Jumadil Awwal tahun 36 Hijriyyah, sedangkan umurnya saat
itu 66/67 tahun.
Kisah Lain
Zubair Ibnul Awwam (Seorang bernilai 1000 orang)
Antara Thalhah dan Azzubair adalah dua serangkai. Bila yang seorang disebut maka yang kedua pun disebut. Mereka sama-sama beriman pada tahun yang sama dan wafat dalam tahun yang sama pula. Kedua-duanya tergolong kesepuluh orang yang "mubasyarin bil jannah,"
Awal Masuk Islam
Azzubair masuk Islam dalam usia lima belas tahun dan ia hijrah dalam usia delapan belas tahun sesudah menderita penganiayaan dan siksaan bertubi-tubi karena mempertahankan keimanannya. Pamannya sendirilah yang menyiksanya. Azzubair digulung ke dalam tikar, lalu kakinya digantung diatas dan dibawah kepalanya ditaruh api yang membara. Pamannya berkata, "Kembali kamu kepada penyembahan berhala !" Tapi Azzubair menjawab, "Saya tidak akan kembali kafir lagi sama sekali,"
Peperangan pertama antara Syirik dan Iman
Azzubair adalah prajurit dakwah yang menyandang senjata untuk melawan orang-orang yang menghendaki gugurnya dakwah Islamiah selagi dalam kandungan. Kepahlawanannya telah tampak pertama kali pada waktu perang Badar. Dalam peperangan itu, pasukan Quraisy menempatkan pendekarnya dibarisan terdepan yang dipimpin oleh Ubaidah bin Said Ibnul Aash. Dia dikenal sebagi seorang yang paling berani, paling pandai dalam menunggang kuda dan paling kejam terhadap lawan. Kaum Quraisy sengaja menempatkannya di barisan terdepan untuk menantang pahlawan-pahlawan berkuda kaum muslimin. Azzubair segera memandang kearah Ubaidah. Ternyata seluruh tubuhnya berbalut senjata (baju besi) sehingga sulit ditembus dengan senjata. Yang tampak dari Ubaidah hanya kedua matanya saja. Azzubair berpikir bagaimana caranya mengalahkan musuhnya yang berbaju besi itu dan ia menemukan cara yang jitu. Setelah siap, Azzubair terjun kemedan tempur dan terjadilah perang tanding yang seru sekali. Dalam dua kali putaran Azzubair mengarahkan lembingnya kemata Ubaidah dan berhasil menusuk kedua mata itu sampai kebelakang kepalanya. Ubaidah, pendekar Quraisy itu berteriak dan jatuh tersungkur tanpa gerak. Menyaksikan terbunuhnya Ubaidah yang tragis ini, barisan kaum musyrikin ketakutan. Lembing milik Azzubair kemudian diminta oleh Rasulullah SAW. Lembing itu kemudian berada ditangan Abubakar, Umar, Utsman, Ali dan Abdullah ibnu Azzubair meminta lembing itu untuk disimpannya. Terbunuhnya pendekar Quraisy Ubaidah menambah semangat juang Umat Islam dalam setiap peperangan dan mereka selalu dapat memenangkannya.
Rasulullah SAW Sangat Mencintai Azzubair
Rasulullah SAW merasa bangga terhadap Azzubair, dan ia bersabda : "Setiap Nabi mempunyai pengikut pendamping yang setia (Hawari) dan hawariku adalah Azzubair ibnul Awwam," Kecintaan Rasulullah SAW kepada Azzubair bukan hanya disebabkan ia anak bibi Rasulullah SAW tetapi karena Azzubair memang seorang pemuda yang setia, ikhlas, jujur, kuat, berani, murah tangan dan telah menjual diri dan hartanya kepada ALLAH. Dia adalah seorang pengelola perdagangan yang berhasil dan hartawan, tapi hartanya selalu diinfakan untuk perjuangan Islam.
Yang pertama Menyambut Panggilan Jihad
Bila diserukan, "Hayo berjihad fi Sabilillah.." maka ia akan segera menjadi orang pertama yang datang menyambut seruan itu. Oleh karena itulah Azzubair selalu mengikuti seluruh peperangan bersama Rasulullah SAW. Selama hidupnya ia tidak pernah absen berjihad. Ketika kaum Muslimin mengepung perbentengan bani Quraidah yang kokoh dan sulit dikuasai, Azzubair bersama Ali bin Abi Thalib menyerbu dengan memanjat benteng itu sehingga kaum muslimin dapat memasuki dan menguasai benteng tersebut. Begitu pula kesigapan Azzubair dalam menyambut seruan jihad pada perang Alahzaab dan peperangan lainnya sehingga bila Rasulullah SAW melihatnya, Beliau tersenyum ridho dan gembira, seraya bersabda : "Tiap Nabi mempunyai kawan dan pembela setia (Hawari) dan di antara hawariku adalah Azzubair,". Azzubair tercatat dalam rombongan yang pernah hijrah ke negeri Habasyah sebelum hijrah ke Madinah.
Seorang Bernilai Seribu Orang
Ketika Amru Ibnul Ash meminta bala bantuan tentara kepada Amirul Mukminin, Umar Ibnul Khattab untuk memperkuat pasukan memasuki negeri Mesir dan mengalahkan tentara Romawi yang kala itu menduduki Mesir, Umar R.A mengirim empat ribu prajurit yang dipimpin oleh empat orang komandan dan ia juga menulis surat yang isinya : "Aku mengirim empat ribu prajurit bala bantuan yang dipimpin empat orang sahabat yang terkemuka dan masing-masing bernilai seribu orang. Tahukah anda siapa empat orang komandan itu? Mereka adalah Azzubair Ibnul Awwam, Ubadah Ibnu Assamit, Almiqdaad Ibnul Aswad dan Maslamah bin Mukhallid," Ketika menghadapi benteng Babilion, kaum Muslimin sukar membuka dan menguasainya. Azzubair R.A memanjati dinding benteng dengan tangga. Lalu ia berseru : "Allahu Akbar," dan disambut dengan kalimat tauhid oleh pasukan yang berada di luar benteng. Hal ini membuat pasukan musuh gentar, panik dan meninggalkan pos-pos pertahanan mereka sehingga Azzubair dan kawan-kawannya bergegas membuka pintu gerbang maka tercapailah kemenangan yang gilang gemilang pada kaum muslimin.
Wafatnya Azzubair R.A
Ketika terjadi pertempuran hari Aljamal antara pasukan yand dipimpin Siti Aisyah R.A dengan pasukan Ali R.A, Azzubair bertemu dengan Ali dan menyatakan dirinya tidak lagi memihak dan akan berusaha mendamaikan kedua pasukan itu. Setelah itu maka dia pun pergi. Tetapi dia dibuntuti oelh beberapa orang yang menginginkan berlanjutnya fitnah dan perang. Azzubair ditikam ketika sedang menghadap Allah (dalam keadaan menunaikan shalat).
Sumber : Klik Disini
undefined
Jakarta, Indonesia
Langganan:
Postingan (Atom)