Theodore Herzl, Pendiri Zionisme
Situs Debkafile yang berafiliasi terhadap rezim Zionis Senin lalu
mengemukakan prediksi akan terjadinya sejumlah peristiwa penting di
kawasan. Pasalnya, di Amman, ibu kota Yordania baru-baru ini
berlangsung pertemuan keamanan segi lima yang dihadiri para pejabat
tinggi Amerika Serikat, Yordania, Otorita Ramallah, Mesir dan Israel.
Pertemuan keamanan itu membahas agenda utama mencari strategi
mewujudkan proses perundingan damai antara Israel dan Palestina yang
menemui jalan buntu.
Tersebarnya berita diterimanya prakarsa
penghentian pembangunan permukiman Zionis selama 90 hari oleh Perdana
Menteri rezim Zionis, Benyamin Netanyahu yang ditebus dengan sejumlah
dana besar tampaknya biasa saja. Namun, berita ini menjadi sorotan
ketika bersanding dengan kabar sakitnya Raja Arab Saudi yang semakin
parah. Pasalnya penguasa Arab berusia 83 tahun ini adalah salah seorang
inisiator program perdamaian Arab Beirut tahun 2002 lalu.
Di
luar itu, sekutu strategis Israel lainnya, Presiden Mesir Hosni Mubarak
dan suksesi di Mesir serta gunungan masalah internal Israel lainnya
menjadi agenda utama pertemuan Amman. Kini, kawasan Timur Tengah
menghadapi peristiwa penting.
Menengok sejarah, Raja Abdullah
ketika masih menjadi putra Mahkota pernah mengusulkan perdamaian Arab
dalam pertemuan Liga Arab di Beirut pada tahun 2002. AS berharap Arab
Saudi di tangan Abdullah bisa mendukung pemulihan hubungan Arab-Israel
di satu sisi dan hubungan Palestina-Israel di sisi lain.
Setelah
Abdullah diangkat menjadi orang nomor satu di Arab Saudi, ia
mengusulkan partisipasi Fatah dalam pemerintahan Palestina di Jalur
Gaza dalam pertemuan Mekah pada tahun 2007. Padahal, berdasarkan
undang-undang Palestina sendiri, Fatah tidak berhak mendapat jatah kue
kekuasaan dalam pemerintahan yang dimenangkan Hamas secara demokratis
pada pemilu tahun 2006.
Tidak bisa dipungkiri, Saudi dengan
menguasai Fatah dalam pemerintahan baru Palestina, bermaksud menguasai
hirarki kekuasaan di Palestina. Tidak mengherankan, ketika Hamas,
berdasarkan undang-undang, tidak menyepakati keberadaan Fatah di
kementerian yang sensitif, tidak ada negara Arab, terutama Riyadh dan
Kairo yang mendukung pemerintahan Hamas di Jalur Gaza.
Sejatinya,
Arab Saudi, Mesir dan Yordania memainkan peran penting di Palestina.
Mesir yang tidak menyetujui peran Arab Saudi dalam kasus Palestina,
setelah kegagalan kesepakatan Mekah menggulirkan rekonsiliasi nasional
Palestina. Eksekusi prakarsa Kairo ini relatif bisa menangguhkan
pembentukan pemerintahan baru Palestina, namun akhirnya Hamas membentuk
pemerintahan Palestina di Jalur Gaza.
Hamas akhirnya menyerahkan
sejumlah kementerian kepada gerakan Fatah. Pemerintah pilihan rakyat
Palestina yang mengusung reformasi sosial dan politik di Palestina,
memulai program pembersihan orang-orang yang tidak layak di
pemerintahan Palestina di Jalur Gaza, yang berbuntut tersingkirnya
orang-orang Fatah dari jabatan kementerian.
Sontak, Fatah
mereaksinya dengan berang, dan menyebut pemerintahan pilihan rakyat
Hamas di Jalur Gaza tidak demokratis. Kemudian pemerintah Riyadh dan
Kairo sebagai sekutu Otorita Ramallah memboikot pemerintahan baru Hamas
di Jalur Gaza. Inilah pemicu boikot total Barat dan rezim Zionis atas
Gaza. Sementara itu, Saudi dan Mesir terus memimpin arus anti-muqawama
di kawasan.
Pasca empat tahun dari kemenangan pemilu demokratis
di Jalur Gaza yang dimenangkan Hamas, pemerintah Riyadh dan Kairo
sebagai negara poros anti muqawama di kawasan mengkhawatirkan eskalasi
dukungan terhadap Hamas di kawasan.
Tampaknya, Presiden Mesir
Hosni Mubarak dan sejawatnya Raja Abdullah tidak lama lagi akan
mengakhiri karir politiknya sebagai orang nomor satu di negaranya
masing-masing. Dalam kondisi sensitif saat ini, tidak diragukan lagi
perundingan segi lima di Amman yang membahas perundingan
Palestina-Israel tidak lagi menjadi isu penting bagi Washington.
Mengingat
situasi politik di Mesir dan Arab Saudi, serta kondisi sensitif di
kawasan terutama wajah suram AS di Timur Tengah, tampaknya transisi
kekuasaan di Arab Saudi dan Mesir tidak akan berjalan mulus. Untuk itu,
pemimpin kedua negara saat ini tengah mencari solusi yang tepat untuk
mengatasi masalah itu.
Pertemuan segi lima Amman merupakan
tempat yang tepat untuk membahas solusi mengenai masalah tersebut serta
mengantisipasi kemungkinan kudeta di dua negara poros utama pendukung
perdamaian Arab-Israel.
Sementara itu, koalisi baru muncul di
kawasan dan membentuk bola salju yang terus menggelinding kencang.
Melebihi sebelumnya, kondisi ini semakin mempersulit AS dan sekutunya
di kawasan.
Sumber : Republika
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar